Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

SEDIH DAN BAHAGIA AKAN DATANG


Sudah lama, ia menanggung beban yang amat besar. Keriput di dahinya itu menjadi sebuah tanda bahwa ia hidup tak semudah membalikkan telapak tangan. Si kecil buah hati bersama sang istri pujaannya, kini terbaring lemah tak berdaya di ranjang kamar seukuran empat kali empat meter. Dokter memvonis si kecil mengalami TBC yang hinggap di dalam dadanya. 


Ia mempunyai nama Iwan Budianto umurnya sekitaran 42 tahun. Sungguh, hatinya semakin tidak karuan seperti ada yang menusuk-nusuk terus di dalam dadanya. Badan yang kekar pun ambruk oleh semua ujian yang telah diberikan-Nya. Ia mencoba untuk terus mengerti dan mengerti tentang kehidupan yang dialaminya. Namun, rasa galau semakin menguat ketika melihat anaknya masih terbaring di ranjang kamar.


"A, kita harus sabar!" Wanita yang menjadi pendampingnya mencoba menenangkan suasana. 


Iwan tidak berkata apa pun. Ia sangat malas untuk mengucapkan satu kata pun. Hati dan pikirannya seolah-olah tidak ada kesingkronan menjadi teman yang saling melengkapi.


Lelaki berambut gondrong itu keluar dari kamarnya. Ia tidak ingin meresapi terlalu dalam apa yang telah menimpa kepada keluarganya. Sedikit-sedikit, ia menyeret kakinya menuju luar rumah. Mungkin saja kalau di luar rumah, hatinya bisa tenang, kata Iwan di kala ditanya oleh wanita pendampingnya. 


Rijal, anak Iwan mengeluh ada rasa sakit di dalam dadanya. Bulat mata yang ia punya pun mengeluarkan air, sedangkan tangan ibunya terus mengusap-usap dada Rijal. Melihat anaknya sendiri kesakitan, ibunya itu tergiring juga untuk mengeluarkan air yang tidak bisa dibendung dari mata. Mereka saling mengeluarkan air sehingga di dalam kamar itu terjadi hujan air mata. 


"Tidak ada yang bisa dilawan tentang ujian yang Tuhan berikan kepada kita semua," kata ibunya di samping Rijal.


"Apakah aku bisa sembuh, Bu?" tanya Rijal, sambil menahan sakit.


"Insyaallah. Kamu, bisa sembuh." 


"Doakan, ya, Bu!" 


Mereka saling menggenggam tangan, ada kehangatan yang dirasakan oleh Rijal. Ibunya itu seolah-olah sedang mentransferkan energi hangat ke dalam tubuhnya. Mungkin, itu dirasakan oleh semua anak yang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Sungguh, Rijal merasakan itu terjadi di saat genggaman tangan ibunya berhasil menciptakan energi positif bagi dirinya. 


Ada rasa semangat muncul kembali di saat Rijal melihat ibunya mengucurkan air mata sampai tercipta danau di wajahnya. Ia sendiri tidak mau melihat itu semua. Bahkan, setetes air yang keluar dari mata ibunya pun ia tidak ingin melihat. Oleh karena itu, kepingan-kepingan kehidupan yang hancur oleh rasa sakit TBC pun mulai ia perbaiki lagi. Walaupun, itu semua tidak mudah. Namun, ia percaya dengan ilmu yang diberikan oleh guru mengajinya, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.¹


Setelah berada di beranda rumah, Iwan sendirian saja duduk di kursi bambu buatannya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk kepala, otaknya berputar sedang memikirkan tentang anaknya. Daun-daun yang gugur dari pohon cengkih depan rumahnya beterbangan diterpa angin. Ia sendiri merasakan angin-angin itu masuk ke celah kemejanya, dingin. 


Kenapa ujian ini terlalu berat, pikirannya berkata begitu. Memandang langit yang begitu cerah, ada burung yang beterbangan. Entah, itu burung apa. Namun, Iwan sendiri tidak merasakan hidupnya seperti langit yang cerah itu. Ia sendiri sangat jauh dari warna biru seperti di langit, tetapi warna yang selalu hinggap di kehidupannya adalah hitam, hitam yang sangat pekat. Sedih. 


***


Pengobatan sakit TBC yang ada di paru-paru anaknya itu memerlukan biaya banyak khususnya untuk pengobatan lanjutannya. Iwan sangat pusing dengan itu semua. Bagaimana caranya untuk mendapatkan uang banyak? Tanyanya dalam hati. Ia merenung untuk mencari jalan keluar. Bahkan, sampai juga ia mencoba untuk meminjam kepada saudara-saudaranya. Namun, saudara-saudaranya pun hampir sama dengan dirinya yang urusan dapur pun sangat pas-pasan. 


Selama Iwan merenung, hati yang menempel di dalam dada menyalurkan sebuah perasaan ke dalam otak sehingga membuat kaki merasa tersentak untuk melangkah. Ia mempunyai niat pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan yang halal dan berkah agar bisa mengobati anaknya. Tidak ada rasa gengsi yang menghinggapi dirinya meskipun harus menjadi seorang kuli panggul pun ia rela demi anaknya. Cinta kepada anaknya tak bisa lagi dibandingkan dengan apa pun, sangat besar. 


Jalanan di depan pasar sangat ramai; penjual kaki lima; orang-orang. Ia sendirian saja masuk ke dalam pasar mencari pekerjaan yang ada di sana. Namun, satu kerjaan pun tidak kunjung didapatkan. Cari kerja itu susah, katanya lalu kebingungan menyerang otaknya. Orang-orang yang melihatnya pun menampilkan tanda tanya kepada lelaki bingung itu. 


"Ada apa, Kang?" tanya seorang pedagang pakaian. 


"Nggak apa-apa," jawab Iwan. 


"Oke." 


Iwan pergi dari hadapan seorang pedagang itu menuju keluar pasar. Banyak sekali orang yang ia lihat dan nasibnya pun sangat berbeda dengan dirinya. Ia tidak mengerti dengan semua yang telah ditetapkan oleh Sang Pengatur. Namun, kesabaran itu selalu terpenuhi di dalam jiwanya. Senyuman orang-orang yang terlihat olehnya pun sangat dirasa jomplang sekali jika dibandingkan dengan hidupnya. Sungguh, ia pun ingin seperti mereka, yang setiap hari, rasa bahagia itu bisa terpancar di wajah keluarga kecilnya.


Ia berjalan di pinggir jalanan kota, sementara perputaran di dalam otaknya semakin merajalela. Ada sakit, tetapi tak berdarah. Namun, Iwan merasakan sakit berdiri. Sakit yang tidak bisa terobati oleh obat dokter, tetapi hanya satu obat yang bisa menyembuhkannya, yaitu bisa menciptakan keluarga bahagia. 


Kaki yang ia punya pun tidak berhenti untuk melangkahkannya di jalanan. Kentut kendaraan yang berseliweran di jalanan, seolah-olah sedang mengejeknya. Bahkan, teriakan yang diucapkan oleh roda empat bermesin itu membuatnya kadang terkaget. Namun di saat ia berjalan, mata yang dimilikinya melihat ada mobil mogok. Melihat itu semua, ia merasakan kasihan dengan hal semacam itu. Ayunan kakinya pun di arahkan ke mobil mogok itu dengan bertanya-tanya di dalam hati. 


"Maaf, ini kenapa, ya?" tanya Iwan kepada orang yang sedang melihat-lihat ban mobilnya. 


"Bannya bocor, Kang." 


"Terus?" 


"Tadinya saya mau ganti dengan ban cadangan, tapi nggak paham masalah ginian." 


"Bagaimana kalau saya bantu?" 


"Nggak ngerepotin, nih?" Orang itu balik tanya. 


"Nggak, Kang. Masalah yang seperti ini mah gampang," jawab Iwan. "Terus di mana kunci peralatannya dan nyimpan ban cadangannya, di mana?" 


Orang yang punya mobil itu masuk ke dalam mobilnya untuk mengambil kunci roda dan sebuah dongkrak. Setelahnya, ia keluar lagi dari dalam mobilnya. Kemudian, berjalan ke belakang mobil dan langsung membukakan pintu mobilnya untuk memperkenalkan Iwan kepada ban cadangan yang harus ditempelkan. 


Iwan pun mengambil ban cadangan mobil yang sudah diperkenalkan kepada dirinya. Setelahnya, langsung memasang dongkrak. Kemudian, roda bagian ban yang bocor pun dibukanya menggunakan kunci roda. Ia sangat bahagia bisa menolong orang yang sedang kesusahan menghadapi kendaraannya. Sangat benar sekali kata ustaz yang sering mengadakan pengajian setiap sore di Masjid Orang-Orang dekat rumahnya itu. Ia sendiri sering mendengar dari toa Masjid Orang-Orang suara ustaz yang berkata:


"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya."²


Kata-kata itu sangat terasa oleh Iwan. Sewaktu ia sedang mengganti ban, orang yang punya mobil itu melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya. Orang yang punya mobil itu merasakan sangat kasihan kepada Iwan. Saat sesudah Iwan menceritakan semua kehidupan yang dialaminya, lelaki bertopi itu bertanya, "Bisa nyetir, nggak?" Iwan pun menjawabnya dengan mantap, bahwa ia bisa menyetir. 


Setelah ban mobil terpasang, Iwan langsung dites untuk mengendarai mobil menuju rumahnya. Sang empunya mobil duduk di belakang kursi yang ditempati Iwan. Jalan tampak ramai sekali, kendaraan-kendaraan pun sudah seperti ular yang sedang merayap. Namun, sang empunya mobil sangat menikmati, sampai ia melemparkan pujian kepada Iwan yang saat mengoper gigi kendaraannya terasa lembut sekali.


Setelah sampai di rumah Iwan, sang empunya mobil mengelus dada ketika melihat keadaan keluarga sopir barunya itu sangat menyedihkan. 


"Ini anakmu?" tanya lelaki seumuran 50 tahun itu kepada Iwan. 


"Iya, ini anak saya, Pak," jawab Iwan. 


"Anakmu sakit?"


"Iya, sakit TBC, Pak."


"Kalau gitu, kita bawa ke rumah sakit, ya! Biar dirawat dan bisa cepat sembuh." 


"Tapi, saya belum punya uang untuk bayar pengobatannya, Pak?"


"Tenang, kalau masalah itu mah saya yang tanggung." 


"Beneran?" 


"Iya, ayo kita bawa!" 


Mendengar perkataan seperti itu, Iwan tidak menyangka bahwa Tuhan masih sayang kepada keluarganya. Iwan dan istrinya pun sujud syukur dengan apa yang mereka alami ini. Sampai-sampai, air mata yang dimiliki mereka—Iwan, anaknya, dan istrinya— keluar. Rasa berterima kasih pun mereka panjatkan kepada Tuhan dan tidak lupa lagi kepada sang empunya mobil—bos baru Iwan—yang sangat dermawan.[]


Catatan kaki:


¹ QS. Al-Insirah : 6

² QS. Az-Zalzalah : 7













Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN