Postingan Terbaru
Rindu Itu Berat
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kata orang yang berbicara kepadaku, rindu itu berat! Ya, benar sekali rindu itu berat. Sekarang, aku merasakannya. Bahkan, tak mampu untuk dideskripsikan oleh kata-kata. Tak mampu juga untuk digambarkan oleh lukisan. Tak mampu juga hanya mengandalkan burung pembawa pesan yang hinggap di rumahmu, tanpa ada kabar. Itu semuanya tak cukup untuk menghilangkan rindu yang berat ini terhadap dirimu. Sesak.
Air berwarna hitam yang berada di cangkir plastik sudah sangat dingin. Mungkin sebentar lagi, akan berubah menjadi agar-agar, itu pun kalau bisa. Aku sendiri masih menatap rembulan penghias langit hitam. Sangat terlihat rembulan itu tak sendirian berada di langit, dia ditemani oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip sungguh indah. Sungguh indahnya malam dengan hati yang gundah gulana berharap kamu menyapa lewat telepon ataupun ruang chat seperti dulu lagi.
Entah, apa yang merasukiku bisa seperti ini? Sudah kucoba puluhan kali untuk melupakanmu. Namun, semua itu tak bisa. Bahkan, lebih susah dari mengisi TTS yang terletak di meja depanku. Sudah kucoba pun untuk menghilang dari semua yang bersangkutan tentang dirimu. Namun, lagi dan lagi itu semua hanya menorehkan rasa yang hancur di hatiku. Aku lemah.
Sekarang, ingin sekali kupetik rembulan yang menggantung di langit itu. Supaya kamu bisa tahu tentang kehebatan seorang cowok yang merindukan kehadiranmu. Rembulan, kamu sangat beruntung ada bintang yang menemanimu, kataku. Setelah itu, aku mendengar suara jangkrik yang mengalun walaupun tak merdu. Namun, bisa membuat suasana malam tak terasa hening lagi.
"A!" panggil lelaki paruh baya yang memakai kopiah hitam.
Aku membalikkan badan dan melihatnya.
"Ada apa?" Lelaki paruh baya itu sudah berada duduk di sampingku.
"Rembulan itu indah, ya, Bah!" Aku menunjuk rembulan yang ada di langit hitam.
"Iya, cerah."—aku masih memandang rembulan—"kamu, bengong, ya?" tanya lelaki paruh baya itu.
"Nggaklah, biasa saja."
"Jangan bohong!"
"Beneran, Bah. Aslinya ini mah."
Lelaki paruh baya itu hanya menatapku. Mungkin, dia tak percaya dengan ucapan yang aku lontarkan kepadanya. Aku menundukkan kepala. Sudah berapa kali aku berbohong kepada Abah yang terlihat cukup mengkhawatirkan cucunya ini. Namun, aku sendiri tak mampu untuk menceritakan semua tentang kerinduan kepadamu ini sama Abah. Aku malu.
"A, kenapa kopinya dianggurin gitu?!" Abah menepuk bahuku.
"Biarin saja, Bah. Biar, si kopi itu juga merasakan dianggurin itu nggak enak. Hehehe."
Lelaki paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepala. Cucu yang aneh, katanya. Aku hanya tertawa.
"Abah tahu, kamu itu lagi melamunin seseorang, ya?" tanya Abah.
"Nggaklah," jawabku dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"A, abah juga pernah muda. Jadi, abah mengerti gerak-gerik kamu ini. Inget pesen abah saja yang satu ini, A! Ingetlah dengan surah An-Nur ayat 26, ya! Wanita yang keji untuk lelaki yang keji ...."
Aku mendengarkan semua nasihat yang diberikan Abah itu. Ada rasa takjub kepada Abah itu ketika beliau mengingatkan dan sambil menerangkan ayat tersebut. Sungguh, membuat batin ini merasa lega mendengarkannya. Rasa galau pun sedikit-sedikit terkelupas dari dalam dadaku.
***
Aku menunggumu di sini! Di tempat yang dulu kita pernah berjanji akan menjalani hidup bersama: saling menyemangati, saling mendukung, saling menjaga, dan banyak sekali saling-saling yang lainnya kita janjikan sewaktu dulu. Ya, aku masih duduk di kursi restoran seafood sewaktu dulu kita berjanji. Menunggumu. Aku masih setia di sini dan percaya, bahwa kamu akan datang ke tempat ini.
Seorang pelayan dengan membawa sebuah catatan menghampiriku. Dia bertanya, mau pesan apa? Aku sendiri hanya bisa menjawab, tunggu sebentar, ya! Aku sedang menunggu teman. Lelaki yang memberikan pertanyaan itu hanya menganggukkan kepala, lalu menuju kursi yang lain. Terlihat, di kursi sebelahku ada seorang wanita dan cowok sedang duduk. Mungkin, mereka pacaran dan lapar terus mau makan di restoran seafood ini. Aku hanya bisa melihat, lalu fokus untuk memainkan ponsel.
Hari sudah semakin sore, di luar pun hujan mengguyur deras kotaku ini. Jalanan tampak sekali tergenang oleh air. Terus siapa lagi yang harus disalahkan kalau sudah seperti itu. Apa gorong-gorong yang tak mampu menyalurkan air secara lancar? Apa hujan yang tak memberitahukan dulu kalau mau mengguyur kota? Apa sampah-sampah yang tak mampu terurai sendiri? Apa manusianya yang bodoh hidup seenak sendiri? Aku merenung dan hanya bisa berharap pemimpin di kotaku ini bisa menyelesaikan masalah genangan air yang ada di jalan raya. Bahkan, genangan itu kalau dibiarkan akan menjadi besar. Ngeri sekali membayangkannya.
"A, mau jadi pesan, nggak?" tanya seorang pelayan yang menghampiriku lagi.
Aku terdiam. Bulat mata yang aku miliki pun menyorot ke arah pintu masuk. Berharap, kamu akan datang dengan memakai gaun yang indah.
"Ntar, ya! Tunggu, sebentar lagi!" Aku pun memohon kepada pelayan restoran itu.
"Oke, A. Tapi, ingat! Sebentar lagi, kami akan tutup."
"Iya, ntar kalau wanita yang aku tunggu belum datang juga sampai restoran ini mau tutup. Ntar, bungkusin saja dua porsi seafood, ya!" pintaku.
"Oke, A." Pelayan itu kembali lagi untuk membereskan pekerjaannya.
Setelah lima jam, aku menunggumu di sini! Apakah kamu enggak akan datang ke restoran tempat janji kita dulu? Apakah kamu enggak akan datang lagi setelah kejadian satu bulan yang lalu itu? Aku masih mengingatnya ketika kejadian kelam melanda kita. Aku menyesal. Selalu menjadi penyesalan yang mendalam ketika sewaktu itu aku tak mendengarkan omongan kamu. "Jangan ngebut-ngebut ... jangan ngebut, Sayang," perintahmu.
Namun, aku tak mendengarkannya. Saat itu, aku mengendarai motor dengan kecepatan ekstra dan tak sadar ketika mau menyalip mobil SUV, di arah lain ada mobil lagi yang sedang berjalan. Aku panik. Oleng. Saat itu juga, kita jatuh dan kepalamu terbentur lampu mobil dan aku terseret hampir mengenai mobil yang tiba-tiba berhenti. Masih untung aku hanya cedera; patah tangan dan kaki, sedangkan kamu harus mengalami perawatan ekstra di rumah sakit.
Setelahnya, rumah sakit tak sanggup lagi dan mengantarkan dirimu pulang ke rumah terakhir menggunakan kendaraan terakhir juga. Banyak sekali orang yang menyambut kamu dengan bulat mata mereka mengeluarkan air. Mungkin, tangisan duka yang terdalam.
Sekarang, aku paham kamu tak akan datang ke sini lagi. Mungkin, untuk melihatku pun kamu tak akan sudi lagi. Akulah yang membuat kamu seperti itu, sehingga tak akan mampu lagi kita bersama. Aku menangis. Namun, harus kamu tahu! Aku di sini masih setia menunggumu datang ke tempat yang dulu kita berjanji. Sampai kapan pun aku akan terus ke tempat ini dan berharap kita bisa bersama lagi.
"A, sepertinya wanita yang ditunggu tak akan datang. Ini pesenan yang tadi itu!" Seorang pelayan menghampiriku lagi. "Dan, maaf sekali lagi! Restoran ini mau ditutup. Jadi, mohon Aa harus keluar dari tempat ini!" perintah pelayan itu.
Aku pun menerimanya dan membayar makanan yang tadi dipesan kepada pelayan itu. Kemudian, aku meminta tolong kepada pelayan itu untuk menuntunku pindah ke kursi roda. Batinku sedih, sedangkan air yang ada di dalam mata ini ingin keluar. Namun, aku tahan dengan sekuat tenaga.[]
'20
Al Ansor Abdul Rahman
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar