Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Wanita yang Memakan Waktu

Wanita yang Memakan Waktu

Seperti hari-hari biasa, Malika masih asyik dengan urusannya di rumah. Bahkan, ia sangat bersabar dalam menjalani hidup yang penuh dinamika. Kemudian, wanita yang berusia 21 tahun itu sangat berbeda karena sering membantu orang tua. Entahlah, walaupun Malika adalah gadis kayu, tapi hati wanita itu pun selalu bergelimang dengan rasa keindahan. 

Dalam benak Abdul, sahabatnya yang senantiasa menjadi teman curhat Malika di kala sunyi itu menilai bahwa wanita ini istimewa. Kemudian, Abdul pun mencoba untuk menggambarkan bahwa Malika ini seperti bidadari yang turun untuk mengurus keluarganya. Abdul sangat kagum. Abdul pun sangat mendukung dengan kelakuan Malika terhadap keluarganya. 

Saban hari, Malika harus mengurus neneknya yang sudah tua. Bahkan, wanita yang memiliki tubuh kayu itu harus melepaskan semua kegiatan yang diinginkannya demi bisa mengurus neneknya. Entahlah, apa yang sebenarnya ia pikirkan kenapa bisa seperti itu? Bukannya wanita yang masih muda itu selalu punya keinginan dan egois yang besar? Namun, semua itu malah berbeda dengan Malika, wanita yang terbilang kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan ini. 

Tak jarang juga Abdul mencoba menanyakan perihal itu, tapi jawabannya hanya satu kata, yakni entar. Kemudian, lelaki yang berhidung mancung itu malah mengerutkan kening karena merasa bingung terhadap jawaban Malika. Bahkan, Abdul pun malah sangat segan kalau bertanya balik terkait kenapa selalu mengurus nenek? Bukannya keluargamu itu banyak? Kenapa harus kamu yang mengurus? Pertanyaan itu malah menjadi teka-teki yang berada di dalam kepala Abdul sehingga ingin segera mendapatkan jawabannya. 

Entah, karena apa? Malika ini seorang wanita yang fokus terhadap apa yang dikerjakannya. Merawat nenek yang sudah tua pun menjadi contohnya. Mungkin saja, hal semacam itu dilakukan karena hidup ini hanya satu kali? Entahlah! Abdul termenung di sudut beranda rumah yang ditempati Malika, sedangkan wanita kayu itu sedang berada di dalam rumah sambil menyuapin neneknya makanan. 

Aminah, nenek dari Malika ini sudah berumur sekitaran 75 tahun dan pendengarannya sudah bermasalah. Jadi, Malika pun harus ekstra sabar dalam merawatnya. Kemudian, Malika ini adalah anak dari anak kedua Aminah yang sudah meninggal ketika Malika masih kecil. Oleh karena itu, Malika kecil pun sudah bisa dikatakan bahwa diurus oleh neneknya dan sekarang ini malah terbalik. 

Abdul pun berdiri dari tempatnya lalu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dengan ayunan kaki yang santai. Kemudian, lelaki yang mempunyai tinggi 178 sentimeter itu merasa tersentuh ketika Malika pun terlihat sangat ikhlas merawat neneknya. Bahkan, tanggul mata lelaki itu ingin segera bobol untuk mengeluarkan air yang bisa saja menciptakan danau di wajahnya. 

"Malika, gimana keadaan nenek?" tanya Abdul yang sudah berada di depan Malika. 

Malika pun memalingkan muka lalu tepat sekali kedua matanya melihat wajah Abdul dan menjawab, "Alhamdulilah baik, Kak." 

"Alhamdulilah. Semoga selalu dalam keadaan baik, ya!" 

"Aamiinn ya rabbal alamiin." Malika pun terus melanjutkan menyuapin neneknya dengan makanan seadanya, yakni bubur yang dibuat dengan rasa cinta oleh dirinya. 

Dalam hati yang lapang, Abdul melihat Malika ini seperti bidadari yang diturunkan untuk neneknya. Sebab, kedua orang ini pun sekarang ini tinggal berdua di dalam rumah yang tampak besar. Kemudian, Abdul pun mencoba lagi menafsirkan bahwa Malika ini walaupun bertumbuh kayu, tapi hati dan pemikirannya selalu bersih dan sangat nyaman untuk mengenalnya. 

Hal semacam itu pun bisa tergambar dari perjalanan yang dilaluinya, sebab rasanya Abdul merasakan bahwa sudah jarang wanita muda merawat neneknya dengan ekstra sabar. Bahkan, zaman yang sudah modern ini tak membuat Malika mudah goyah untuk merawat neneknya itu.


***


Abdul merasa penasaran dengan alasan kenapa Malika harus mengorbankan yang lain untuk merawat neneknya. Bahkan, lelaki yang berusia 25 tahun itu mempunyai pemikiran bahwa keinginan Malika pun bisa dikatakan besar. Mungkin saja, Malika ingin seperti orang lain yang berkarir di perkantoran dengan baju rapi. Namun, hal semacam itu seperti harus ditahan oleh wanita kayu ini demi bisa merawat neneknya yang wajahnya sudah keriput. 

Dalam waktu malam terlihat bulan tampak sempurna dan bintang-bintang pun menghiasi di langit sana, Abdul memutuskan untuk menemui Malika di tempat tinggalnya. Kemudian, rangkaian kata-kata pun sudah dipersiapkan untuk dijadikan beberapa pertanyaan untuk Malika. Abdul pun sangat yakin bahwa sekarang ini akan mendapatkan jawaban kenapa Malika ini masih sabar mengurus neneknya? Bukannya masih ada anak neneknya yang masih hidup? 

Sudah seperti biasanya di malam hari, perjalanan pun tampak sepi yang mungkin saja orang-orang sudah malas untuk keluar rumah. Abdul pun menikmati udara malam yang masuk ke celah-celah kemeja yang dipakainya. Ia menikmati semua itu dengan sangat nyaman di atas motor yang dikendarainya. Bahkan, sesekali pikirannya malah melayang-melayang untuk mencari pertanyaan apa yang nantinya pertama kali ditanyakan kepada Malika. 

Setelah harus melewati waktu sekitar 23 menit, akhirnya Abdul sampai juga di depan tempat tinggalnya Malika. Kemudian, ia langsung saja memarkirkan motornya di depan beranda rumah yang ditempati oleh Malika. Setelah itu, tanpa ba-bi-bu lagi ia langsung berjalan untuk mendekati Malika yang tampak terlihat sedang duduk sambil membaca buku di beranda rumahnya. 

Wanita yang berkerudung cokelat itu pun tampak terkejut ketika tiba-tiba melihat Abdul di berada rumahnya. Kemudian, Malika menggeleng-gelengkan kepala lalu dadanya malah semakin naik turun saja karena tak biasanya Abdul malam-malam bermain ke rumahnya. Entahlah! Ia pun belum bisa menebak pemikiran lelaki yang berada di hadapannya itu! 

"Assalamualaikum, Malika," sapa Abdul yang sudah berada tepat di hadapan Malika. 

Malika pun langsung menjawabnya dan ia sendiri langsung mempersilakan untuk duduk kepada sahabatnya itu. Kemudian, wanita kayu yang bermata biru itu tanpa ba-bi-bu lagi langsung menayakan perihal apa malam-malam Abdul main ke rumahnya. 

Abdul menjawab bahwa dirinya malam-malam ingin bertemu Malika itu karena penasaran dengan jawaban yang akan ditanyakannya. Bahkan, Malika pun langsung mengerutkan kening dan tangan kanannya mengetuk-ngetuk kepala seperti orang yang bingung. 

"Kenapa? Apa boleh aku bertanya perihal yang menurutku penting?" tanya Abdul dengan santai. 

"Emang mau nanya apa, sih?" Malika pun balik tanya karena ia pun merasa terkejut dengan kedatangan Abdul ini. 

"Nanya yang dulu pernah aku tanyakan, tentang nenek dan kamu. Apakah boleh?" 

"Boleh saja, asal jangan yang macem-macem, ya!" jawab Malika sambil tersenyum dan menunjuk wajahnya Abdul, sedangkan lelaki yang berada di hadapannya itu hanya mengangguk-nganggukkan kepala. 

Setelah beberapa menit saling terdiam, akhirnya Abdul pun memberanikan diri lagi untuk membuka perkataan dengan bertanya, "Aku mulai sekarang, ya, pertanyaannya?" 

Malika menganggukkan kepala dan langsung menyimpan buku yang sedari tadi dibaca itu di meja sampingnya. Kemudian, Abdul pun langsung bertanya pada intinya saja terkait Malika merawat neneknya. 

"Kenapa kamu begitu sabar merawat nenek?" Pertanyaan pertama itu langsung keluar dari mulut Abdul dengan mantap. 

"Aku merasa bahwa semua itu adalah kewajibanku dan merawat nenek pun harus aku lakukan. Kamu pun bisa melihat bahwa yang tinggal di rumah ini hanya kami berdua jadi kami pun harus saling menjaga," jawaban itu keluar lancar dari mulut Malika, sedangkan Abdul pun mendengarkan secara seksama. 

"Ada alasan lain, kenapa harus kamu? Bukannya anak nenek pun ada yang masih hidup? Dan kamu pun masih muda jadi perjalanan karirmu bisa masih panjang, kenapa harus kamu?" 

"Aku tak mempermasalahkan hal semacam itu, walaupun aku ini bisa dikatakan memakan waktu. Ya, semua itu dilakukan demi bisa merawat nenek. Aku tak mempermasalahkan semua itu karena aku pun sangat percaya bahwa hidup ini sudah ada yang mengatur," jawab Malika yang terlihat ingin segera mengeluarkan air matanya. 

"Apakah karena kamu menerapkan bahwa hidup ini sekali jadi harus senantiasa berbuat baik kepada keluarga maupun sesama?" Pertanyaan terakhir dan paling dalam dari Abdul itu berhasil terlempar kepada Malika. 

Malika pun terdiam sebentar dan menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Wanita yang bermata biru itu seperti sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan yang Abdul tanyakan itu. 

"Oh, ya. Aku masih ingat ketika ada seorang ustad yang mengaji di masjid bahwa hidup itu hanya sebentar. Bahkan, beliau pun memberikan penjelasan seperti ini, Dia (Allah) berfirman, "Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui."¹," kata Malika lalu tangan kanannya memegang kening. 

"Seperti itu, kah?" Abdul pun mencoba untuk memastikan bahwa jawaban itu benar-benar yakin keluar dari mulut Malika. 

Malika pun menganggukkan kepala tanda iya dan menyakini jawaban itu keluar dari mulutnya. 

Setelah menayakan pertanyaan yang selama ini berada di dalam kepalanya, akhirnya Abdul pun merasa lega. Sebab, jawaban yang ditunggu-tunggunya itu datang dan berhasil membuat hati dan pikirannya pun memahami terkait alasan kenapa Malika harus memakan waktu; mengorbankan masa mudanya. 

Malika dan Abdul pun sama-sama terdiam sebentar lalu saling malu-malu untuk melemparkan perkataan di malam yang semakin merangkak naik saja. Kemudian, Abdul pun malah memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke samping tiang beranda rumah, sedangkan Malika mengambil bukunya lagi yang tadi disimpan di sampingnya. 

Wanita berwajah kayu itu menggambarkan bahwa kehidupan ini harus dimanfaatkan untuk kebaikan. Oleh karena itu, ia pun sudah memberikan contoh dengan memakan waktu masa mudanya demi merawat sang nenek tercintanya. Hal semacam itu pun menjadi tamparan keras untuk Abdul karena ia sendiri malah sering menyusahkan neneknya yang berada di rumah; menyuruh untuk mencuci pakaiannya; membentaknya saat kesal ketika tak dikasih uang. Abdul menangis. Abdul menangis karena terketuk hatinya dengan jawaban yang dilemparkan oleh wanita itu kepadanya.(*)


Catatan: 

¹ Kalimat yang diambil dari QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 114.


2023

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Mari Berkenalan dengan Gurita Teleskop, Penghuni Laut Dalam!

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca