Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Hati yang Selembut Sutra

Hati yang Selembut Sutra


Siti Aminah sangat tersentuh hatinya ketika melihat anak-anak kecil bergulat dengan panasnya jalanan sambil membawa kecrekan dan mengamen di lampu merah. Kemudian, Siti menundukkan kepalanya karena ada air yang mau turun dari matanya. Bahkan, wanita yang berkerudung putih itu sangat merasakan betapa peliknya anak-anak yang dilihatnya. 

Pada saat itu, Imam—suaminya Siti—itu langsung bertanya, kenapa menangis? Siti pun terdiam dan ada sedikit yang mengganjal di dalam hatinya. Kemudian, mereka berdua pun langsung melanjutkan perjalanannya yang sewaktu itu mau berbelanja ke minimarket. 

Dalam bayang-bayang yang Siti bayangkan di perjalanan bahwa anak-anak kecil itu masih bisa diperbaiki lagi kehidupannya agar lebih baik. Namun, dalam hal itu harus didukung dengan pendidikan yang baik. Oleh karena itu, wanita yang baru saja menikah itu langsung berpikir, alangkah lebih baiknya bisa mengajar anak-anak yang kurang beruntung itu! 

Setelah beberapa menit kemudian, Siti mencoba untuk memaksakan bercerita kepada suaminya yang sedang mengendarai mobil. Kemudian, satu per satu rangkaian kata pun mulai terucap sampai suaminya hanya bisa mengerutkan kening saja. Entahlah! Hal semacam apa yang sedang dipikirkan oleh suaminya itu. 

"A, tadi kamu lihat tak, ada anak-anak kecil yang mengamen di sana?" tanya Siti lalu mengusap air matanya yang tadi jatuh membasahi wajah. 

"Di mana, Neng?" Suaminya malah menanya balik. 

"Di lampu merah yang tadi, A." 

"Oh, itu! Ia, tadi aku lihat anak-anak kecil itu, kok," jawab suaminya dengan santai. 

"Aku kasihan dengan anak-anak itu, tadi pun aku merasakan bahwa sangat pelik kehidupan anak-anak itu," kata Siti yang pelan dan samar-samar terdengar oleh Imam. 

Imam pun hanya menganggukkan kepalanya dan langsung fokus kembali mengendarai mobil yang dikendarainya itu menuju minimarket. Kemudian, dalam bayang-bayang yang dalam bahwa kehidupan itu sangat sulit untuk ditebak. Namun, menolong ke sesama itu bisa juga untuk menghasilkan keindahan. Imam berpikir, apakah harus dirinya menyuruh Siti untuk mengajarkan anak-anak itu, setidaknya bisa menghitung dan membaca? 

Sebelumnya, Siti ini seorang guru sekolah dasar di kampungnya. Namun setelah menikah, ia harus meninggalkan semua itu dan memilih tinggal di kota bersama suaminya. Sudah tak heran lagi bahwa perasaan Siti ini bisa terbilang sangat peka terhadap anak-anak, karena sebelumnya ia mengajar anak-anak di sekolah dasar yang berada di kampungnya. 

Bahkan sesampainya baru di Jakarta, Siti merasakan kehilangan yang dalam di kehidupannya. Ia terkadang juga sering menangis karena sudah meninggalkan anak-anak yang berada di kampungnya. Kemudian, Imam pun hanya bisa bilang bahwa semua itu terserah Siti saja mau dilanjut di kampung atau pindah ke kota. Akan tetapi, Siti memilih untuk pergi ke kota demi bisa dekat dengan suaminya terus. 

Entahlah! Pemikiran apa yang dipikirkan oleh Siti sehingga ia harus meninggalkan anak-anak di kampungnya. Apa mungkin karena surga istri itu ada pada suaminya? Entahlah, Siti pun hanya bisa bersifat legowo terkait kehidupannya yang mana semua itu sudah diatur-Nya. 

Setelah menghabiskan waktu 15 menit, akhirnya pasangan yang baru menikah itu sampai di minimarket. Kemudian, Imam langsung memarkirkan kendaraannya di minimarket, sedangkan Siti yang tadi sudah keluar itu langsung masuk ke dalam untuk berbelanja. Siti langsung terkejut. Siti menggeleng-gelengkan kepala karena di depan kasir minimarket itu tampak banyak yang antri. Hmm, haduh, katanya pelan karena ia sudah merasakan bahwa mungkin saja akan memerlukan waktu yang lama di dalam sini. 


***


Sewaktu pagi, Imam mengajak istrinya ke beranda rumah untuk bisa berbicara secara empat mata. Kemudian, Imam pun langsung saja membicarakan perihal anak-anak kecil itu sambil ditemani secangkir kopi yang dibuatkan oleh istrinya. Siti pun mendengarkan. Siti pun merespon perkataan Imam yang ingin membuat anak-anak kecil itu mempunyai setidaknya skill agar kehidupannya bisa lebih baik lagi. 

Siti sangat bersemangat ketika mendengarkan keinginan suaminya itu. Bahkan, ia sendiri mengatakan, sangat siap untuk menjadi guru anak-anak kecil itu. Kemudian, satu per satu pun mulai dipersiapkan yang dimulai dengan bagaimana cara mengajak anak-anak itu belajar? Di mana tempat berlajarnya? Kapan waktu yang tepat untuk proses belajar dan mengajarnya? Hal semacam itu mulai dipikirkan oleh pasangan muda itu. 

"A, bagaimana kalau tempatnya di halaman rumah kita saja?" tanya Siti kepada suaminya, "kan, halaman rumah kita lumayan besar juga," lanjutnya. 

Imam terdiam sebentar sambil tangan kanannya mengetuk-ngetuk kepala seperti sedang berpikir. 

"Bagaimana, A?" Siti pun langsung bertanya lagi, sedangkan Imam masih terdiam tak mengeluarkan satu kata pun. 

Siti sangat memahami bahwa perihal keinginan itu karena ia sendiri selalu mengingat perkataan gurunya sewaktu sekolah dulu yang mengatakan seperti ini, dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun¹. Oleh karena itu, ia sendiri sangat mendukung apa yang tadi dibicarakan oleh suaminya itu dengan ikhlas. 

"Oke, deh. Kita pakai saja halaman rumah untuk bisa mengajarkan anak-anak yang kemarin di lampu merah itu belajar. Ya, setidaknya bisa baca, tulis, dan menghitung," kata Imam yang mantap itu. 

"Alhamdulilah, berarti kita tinggal mengajak anak-anak itu belajar saja, dong?" 

"Iya, Neng. Kita ajak mereka untuk belajar dan setidaknya bisa secepatnya terselenggara," ungkap Imam dengan wajah yang terlihat optimis bahwa keinginan itu bisa berhasil. 

"Oke, A. Jujur, aku sangat bahagia dengan semua ini karena aku bisa mengajar lagi dan ada juga pepatah yang mangatakan bahwa memberikan ilmu itu bisa juga sama dengan beramal dan itu surga yang akan didapatkannya," kata Siti yang penuh syukur, sedangkan Imam hanya bisa mengamini saja semua perkataan istrinya itu. 


***


Satu per satu anak yang berada di lampu merah itu langsung mulai diajak untuk belajar oleh Imam dan Siti. Namun, Imam pun merasakan bahwa mengajak anak-anak itu tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, banyak yang menjawab dengan pertanyaan bahwa belajar itu nantinya akan dapat uang, tidak? Imam pun menggeleng-gelengkan kepala tanda harus dengan cara apa lagi untuk menjawabnya. 

"Maaf, kakak boleh tahu nggak, namamu siapa?" tanya Siti yang berada di dekat anak wanita yang memakai kaos warna merah dan bercelana jeans biru itu.

"Boleh, Kak. Namaku Ai," jawab anak wanita itu dengan senyum yang manisnya. 

"Ai, mau nggak belajar dengan kakak?" tanya Siti dengan lembutnya, "ntar, kakak kasih cokelat kalau kamu mau," tambahnya yang mungkin saja agak sedikit memaksa, tapi apa boleh buat hal semacam itu pun harus dilakukan. 

Ai pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya tanda ia mau untuk belajar bersama Siti di halaman rumahnya. 

Siti pun sangat bersyukur karena masih ada anak yang mau belajar dari banyaknya anak-anak yang berada di lampu merah. Kemudian, Siti pun langsung menghampiri suaminya yang sedari tadi mengajak anak-anak lelaki untuk belajar, tapi hasilnya sangat nihil. 

"A, aku sudah mendapatkan satu anak yang mau belajar bersama kita," kata Siti dengan wajah bahagianya. 

"Oh, ya? Alhamdulilah, dong!" Suaminya pun merespon dengan bahagianya bahwa ada juga anak yang mau belajar. 

"Udah, kita mulai dengan satu anak dulu saja, ya?" Siti pun bertanya lagi. 

"Iya, kita mulai dengan satu anak dulu saja,"—Siti pun langsung mengajak suaminya itu untuk bertemu dengan Ai—"kita langsung saja ke tempat belajarnya, yuk!" 

Tampa perlu waktu yang lama lagi, Siti dan suaminya itu langsung mengajak Ai untuk ke tempat belajarnya. Dalam hati yang paling dalam bahwa Siti ini sangat bersyukur dan langsung mempunyai keinginan untuk Ai; menjadikannya orang pintar; menjadikannya orang berguna. 

"Sebelumnya, Ai sudah bisa membaca belum?" tanya Siti di dalam mobil yang menuju ke halaman rumahnya. 

Anak wanita yang mempunyai umur sekitaran sembilan tahun itu hanya bisa menjawab dengan menggeleng-gelengkan kepala saja. 

Siti pun memahami semua itu lalu kembali berkata, "Ntar, kakak ajarin sampai bisa dan lancar, ya!" Kemudian, tiba-tiba saja air mata Siti itu jatuh membasahi wajah cantiknya. 

Siti terdiam dan berpikir bahwa kehidupan itu sangat keras untuk orang-orang yang berada di luaran sana. Bahkan, ia pun bisa melihat langsung dari Ai yang masih kecil saja harus bergelut dengan panasnya jalanan; mengamen agar bisa melanjutkan kehidupannya. Siti sangat tersentuh dan tanggul matanya pun benar-benar sudah tak kuat lagi untuk menahan air yang ingin menciptakan danau di wajahnya.(*)


Catatan:

¹: QS. An-Nisa' 4: Ayat 124


2023

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN