Postingan Terbaru

Di Balik Pesona, Tersembunyi Hati yang Tak Tergoyahkan oleh Kata-Kata Puitis!

Gambar
Ilustrasi | Pixabay W anita cantik dengan segala pesona yang dimilikinya, seringkali menjadi pusat perhatian. Namun, di balik kecantikan yang tampak ke permukaan itu, ada kedalaman jiwa yang tak mudah tergoda oleh rangkaian kata-kata puitis. Sebab, kecantikan sejati seorang wanita pun bukan hanya terletak pada wajahnya, tapi terletak pada hati dan pikirannya yang tak terhingga. Kata-kata puitis mungkin bisa menawan telinga, tapi tak akan pernah cukup untuk menaklukkan hati seorang wanita yang bijak. Baginya, kata-kata hanya akan berarti jika disertai dengan tindakan yang tulus. Maka, wanita cantik dengan segala kecerdasannya, mampu membedakan antara kata-kata manis dan kata-kata yang penuh makna. Kemudian, kecantikan fisik hanya permukaan, sementara ketulusan adalah kunci yang mampu menyentuh jiwa. Sebagaimana bunga yang mekar di taman, wanita cantik membutuhkan perawatan yang lebih dari sekadar perhatian sesaat. Ia pun mencari kedalaman, bukan sekadar keindahan semu yang cepat...

Lelaki Pemburu Cinta (Bag-2)

Lelaki Pemburu Cinta (Bag-2)


Namun, aku tak percaya dengan jawaban Alika, dia bilang cowok yang ada di sampingnya itu adalah temannya. Masa teman saling bergandengan tangan, aku menjadi bertanya-tanya, apakah mereka berpacaran? Ataukah sudah bertunangan? Namun, sekarang yang lebih penting itu aku ingin mengetahui tentang wanita berhijab putih yang tadi belanja ke mini market ini. 

Alika dan teman cowoknya pamit terhadapku. Mereka mengayunkan kakinya ke dalam mini market. Namun, kenapa rasa ini mendadak sakit ketika melihat Alika berjalan dengan cowok lain. Bukannya aku bukan siapa-siapanya dia. Ah, aku sungguh tak mengerti dengan perasaan ini yang tadinya tidak peduli menjadi peduli dengannya. 

Memang, Alika sungguh banyak perubahan, dari caranya berpakaian pun sudah sangat indah dipandang. Beda sekali, waktu zamannya masih sekolah SMA. Apa mungkin aku masih merasakan cinta kepadanya? Perasaan seperti itu harus bisa kutenggelamkan seketika. Aku tak ingin dia melihatku sebagai cowok yang mengharapkan cintanya. 

Sudah terlalu lama, aku berdiam di depan mini market dengan menghabiskan sebotol kopi. Sungguh, lumayan juga sebotol kopi bisa menetralisir kinerja otakku yang sedang dirundung kegalauan ini. Melihat langit yang indah, butiran air menjadikan sebuah bentuk berwarna putih. Sungguh, indah sekali di tanah Sunda ini. 


***


Suara angklung mengalun merdu dibarengi dengan kendang menerobos masuk ke telingaku. Halaman rumah tampak ramai dengan Bapak yang sedang mengajarkan anak-anak kecil bermain angklung. Tak lupa juga, aku melihatnya dengan perasaan yang sangat bangga. Sungguh, sudah jarang sekali di zaman yang modern ini masih melestarikan budaya leluhurnya. Bapak, dulu pernah bercerita kepadaku, katanya sudah menyukai seni angklung sejak dari masa sekolah SMP. Pantas saja, Bapak terlihat berani untuk menggurui anak-anak kecil yang ingin bermain angklung. 

Wajah yang berseri terlihat sangat ikhlas dari Bapak yang memberikan pelajaran berharga untuk anak-anak. Aku memandangnya sambil menyeruput air berwarna hitam yang berada di sebuah cangkir. Hatiku merasa tenteram saat Bapak dan anak-anak didiknya bermain angklung dengan suara khas bambu yang membuat pikiran ini serasa fresh kembali. Namun, sesosok yang namanya Ayu Ningrum itu masih terngiang-ngiang di dalam ingatanku. 

Merebahkan tubuh di kursi panjang yang terbuat dari bambu hitam. Sial! Bambu yang aku tempati itu berderit. Mungkin saja, bambu itu tidak kuat menahan berat tubuhku. Aku pun tak berpikir panjang untuk berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah. 

Setelah berada di dalam rumah, tiba-tiba saja aku mendengar suara ponsel yang bergetar. Alhasil dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, aku berjalan untuk melihat dan membuka ponselnya. Terpampang sangat jelas satu gelembung yang terlihat dari layar dengan nama pengirim Alika dan isinya hanya ucapan salam. Namun, sedikit hatiku menjadi penasaran. Ada apa tiba-tiba dia mengirim salam via ponsel kepadaku? Ah, daripada berpikir yang aneh-aneh, lebih baik aku balas saja. 

'Waalaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa, Neng?' Satu pesan balasan pun aku kirim kepada Alika. 

Dia pun membalasnya dengan cepat.

'Lagi sibuk, nggak?' tanya pesan kedua yang dia kirim kepadaku

'Nggak biasa saja, emang ada apa?' 

'Aku mau minta tolong!' 

'Tolong, apa?' 

'Bisa isiin aku kuota dulu yang 1GB juga nggak apa-apa. Aku lagi di rumah sakit, tadi teman aku nyerempet mobil.' 

Sial! Kirain aku mau apa? Dia malah meminta tolong kepadaku. Namun, aku tidak bisa menolak permintaan dia. Mungkin, sudah dari dulunya, aku selalu baik kepadanya. Jadi, tak pernah bisa untuk menolak apa pun yang berkaitan dengannya. Sampai saat ini, aku ingin menghilangkan rasa kepadanya. Namun, kalau seperti ini terus bisa-bisa mekar kembali rasa cinta kepadanya itu.

Memang, Alika seorang wanita yang cantik. Akan tetapi, dia berada dari keluarga yang sangat kaya. Bapak dan ibunya mempunyai satu perusahaan yang besar di kotaku ini. Jadi, apa mungkin dia mau terhadapku yang biasa-biasa saja. Namun, cinta adalah masalah hati, tetapi kalau sudah diiming-imingi harta semuanya tidak berguna. 


***


"Mau ka mana atuh, Im?" tanya Ibu yang sedang marut kelapa di tengah rumah. 

"Ini, Bu. Mau meser kuota dulu," jawabku sambil mengeluarkan kuda besi dari rumah. 

"Kamu, meuni rapih pisan, seungit deui."¹

"Ya, iyalah. Siapa tahu ada yang naksir, Bu. Ibu mah, seperti nggak pernah muda saja." Aku pun sambil senyum. 

"Jadi, sekarang anak ibu itu sedang beger²." Ibu tertawa sambil terus marut kelapa. 

Aku hanya bisa mengikuti Ibu yang tertawa cekikikan itu.

Ibu itu saban harinya jualan gonjing³ di halaman rumah. Banyak sekali warga-warga yang membeli, biasanya Ibu berjualan di waktu pagi. Jadi, pas banget makanan itu untuk sarapan. Kata Ibu, lumayanlah untuk menyambung hidup sehari-hari. Dan tentunya untuk membantu Bapak dalam menyelesaikan masalah ekonomi keluarga. Atau sekarang bisa disebut dengan emansipasi wanita. Wanita itu harus bisa segala rupa. Aku pun hanya bisa mendukung keinginan Ibu itu untuk tetap berjualan. 

Memang, keuntungannya enggak seberapa. Namun, sepertinya Ibu sangat menikmati sebagai penjual gonjing di kampung tempat kami tinggal ini. Apalagi gonjing buatan Ibu itu sudah terkenal di kampung ini. Jadi, saban harinya laku dan kalau ada sisa pun, Ibu selalu sumbangkan kepada anak-anak yang sedang bermain angklung bersama Bapak. 

Ibu memang selalu sabar dengan kondisi yang kami alami ini. Tidak ada yang seperti Ibu, dia wanita yang kuat dan selalu bisa menghangatkan diriku di saat anaknya ini dirundung kegalauan. Oleh karena itu, semua pengorbanan yang Ibu berikan kepadaku ini, tak akan bisa diganti oleh apa pun.

Setelah mengeluarkan kuda besi yang terparkir di dalam rumah. Sial! Waktu pun tidak bersahabat denganku. Awan pun mulai mengeluarkan air-air sehingga membasahi halaman rumah. Tidak mungkin aku membatalkan untuk menolong Alika, malu sekali jika itu terjadi. Alhasil, kuambil jas hujan yang berada di dalam rumah dan langsung memakainya. Semua ini demi dia, kalau bukan untuknya, aku enggak mau waktu hujan keluar rumah.


....


Catatan kaki: 


¹ "Kamu, sangat rapih banget, harum lagi."

² Kasmaran

³ Kue yang terbuat dari tepung beras, tepung terigu, kelapa, dan garam.


Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Mari Berkenalan dengan Gurita Teleskop, Penghuni Laut Dalam!

Mengenal Tari Topeng Cirebon, Sejarah, Jenis, dan Filosofi yang Terkandung dari Keindahannya, Silakan Disimak!

Batu Hitam yang Terluka

Kue Kontol Sapi, Makanan Unik Khas Cilegon