Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Menyelisik Jejak Sejarah dan Situs Warisan Dunia Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) | Pesona Indonesia


Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) Sawahlunto, Sumatra Barat menjadi salah satu situs warisan dunia, setelah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada sesi ke-43 Pertemuan Komite Warisan Dunia di Kota Baku, Azerbaijan pada Sabtu, 6 Juli 2019.

Dalam hal tersebut Ombilin menjadi situs warisan dunia di Indonesia ke-5 setelah Candi Borobudur dan Prambanan (1991), situs sejarah manusia purba Sangiran di Sragen (1996), dan sistem irigasi persawahan Subak di Bali (2012). 

Kemudian, Ombilin terletak kurang lebih 95 kilometer dari sebelah timur laut kota Padang. Bisa diketahui bahwa Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh para warga setempat. 

Lembah tersebut pun dibelah oleh aliran sungai Lunto. Kemudian, mungkin banyak yang bertanya-tanya nama Sawahlunto itu bermula dari mana, sih? 

Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata 'sawah' dan sungai 'Lunto'. Namun dengan perjalanannya waktu, lembah sungai lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batu bara. 

Seperti dilaporkan oleh laman Portal Informasi Indonesia bahwa sampai pada tahun 1868, geology muda Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve menemukan kandungan batu bara di Ombilin, Sawahlunto. 

Pada tahun 1871 disusunlah laporan mengenai penemuan itu ke Batavia dengan judul 'Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust'.

Oleh karena itu, setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya maka pemerintah Hindia Belanda pun memutuskan untuk melanjutkan eksplorasinya. 



Sampai akhirnya dimulailah pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Kemudian, pembangunan infrastruktur tersebut pun dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894. 

"Sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batu bara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian,” tulis Erwiza Erman dalam buku Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat 1892-1996 (2016) dikutip dari Indonesia.go.id

Kemudian pada tahun 1872, de Greeve kembali melakukan eksplorasi lanjutan di tanah Sumatra Barat. Namun kali itu nasibnya pun sial, penemu batu bara di Ombilin itu tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri saat melakukan penelitian. 


Warisan Pertambangan Batu Bara Ombilin | YouTube ON A WALK


Oleh karena itu, tongkat estafet pun seperti muncul karena penelitian de Greeve itu kemudian dilanjutkan oleh dua insinyur tambang asal Belanda lainnya, yakni Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth pada tahun 1874.

Dalam hal semacam ini, Veth juga menuliskan laporan yang berjudul 'The Expedition to Central Sumatra'. Kemudian, menurut Erwiza dalam bukunya bahwa inilah yang mendasari pembangunan jalur kereta api dari lokasi eksploitasi tambang menuju pelabuhan Emmahaven (dikenal sebagai Teluk Bayur).

Tak hanya sampai situ saja! Akan tetapi, terkait pengembangan pengelola tambang di Ombilin Sawahlunto, Cluysenaer pun menulis tiga laporan rinci tersebut pada 1875 dan 1878. 

Oleh karena itu, seperti pada laporannya bahwa Cluysenaer pun menawarkan anggaran yang lebih rasional untuk rel kereta yang membelah lembah barat-timur, misalnya, membutuhkan biaya sekitar 24,4 juta gulden. 

Seperti yang dikabarkan oleh Indonesia.go.id yang dikutip dari buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat (2006) yang ditulis Erwiza Erman dan kawan-kawan, Rancangan Undang-Undang (RUU) pertambangan batu bara Ombilin disahkan oleh parlemen Belanda pada 24 November 1891.

Selanjutnya, bahwa jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batu bara sekaligus menjadi alat transportasi. 

Perkembangan hal semacam itu menjadikan kereta api digunakan untuk mengangkut hasil tambang yang kemudian diekspor menggunakan kapal uap SS Sawahlunto dan SS Ombilin-Nederland.

Namun, sebagian fasilitas pendukung bahwa stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai baru dibangun pada 1918. Kemudian kini, stasiun kereta api tersebut pun dijadikan sebagai museum kereta api. 

Dalam tambang itu terdapat juga salah satu lubang tambang yang terkenal di Ombilin Sawahlunto, yakni lubang tambang Mbah Suro yang sudah dibuka untuk umum sejak 2007 lalu. 

Nama tersebut diambil sendiri dari nama seorang mandor bernama Soerono yang sewaktu itu ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 untuk mengawasi kegiatan pertambangan. 



Namun, konon ada juga beberapa versi cerita terkait sosok mandor yang didatangkan dari tanah Jawa ini. Kemudian menurut cerita, Mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal. 


Dapur Umum | YouTube Irwan Channel

Akan tetapi, ada juga versi lain yang menggambarkan bahwa Mbah Suro itu merupakan seorang mandor yang kejam, sehingga sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. 

Bahkan, terlepas dari semua itu bahwa Mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini. 

Jikalau menilik lebih dalam lagi bahwa pembuatan terowongan pun diceritakan banyak mengerahkan pekerja paksa yang berasal dari berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan, dan Padang, alias para narapidana. 

Oleh karena itu, di Sawahlunto itulah para narapidana tersebut dipekerjakan untuk membuat terowongan tambang. Kemudian, pekerjaan paksa pun dikenal juga dengan sebutan orang rantai karena dalam berkegiatannya kaki mereka dirantai. 

Bahkan, siksaan berupa cambukan seringkali mereka terima dari mandor, serta makanan yang diberikan pun terbatas. Maka, tak ayal banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu. 

Dalam hal semacam itu adapun sementara untuk memasok kebutuhan makanan pekerja tambang maka dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Kemudian, dapur umum itu juga bertanggung jawab pada ketersediaan makanan untuk pasien rumah sakit Sawahlunto. 

Dapur umum tersebut banyak juga mempekerjakan orang yang di dalamnya pun termasuk anak-anak. Namun, bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. 

Oleh karena itu, untuk mendukung proses penyediaan makanan, maka dapur umum tersebut dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan, peralatan modern itu sepertinya menjadi yang pertama ada di Indonesia pada awal abad 20. Kini, dapur umum tersebut pun sudah berubah fungsi mejadi Museum Goedang Ransum.[]

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Mari Berkenalan dengan Gurita Teleskop, Penghuni Laut Dalam!

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca