Postingan Terbaru
Lelaki yang Dibayang-bayang Kesedihan
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Ilustrasi by Pexels.com/Mart Production |
Di sudut jalan yang pernah kita lalui, aku terdiam mengingat kembali kenangan yang menyesakkan hati. Aku menangkap semua hal yang pernah terjadi di jalan lingkar ini. Menangis. Merindu. Semua itu tercampur dalam balutan kesedihan yang mengorek-ngorek kalbu.
Banyak hal yang telah terlewati di balik jalan yang menyebabkan sebuah peristiwa menyakitkan ini. Aku menatap dirimu dan berkata pasti kau akan kuat. Namun, waktu terus menggerus di kala sakit yang datang. Kau kalah, aku betul-betul terdiam sewaktu itu dan semua hal pun terasa kacau.
"Ikhlaskan saja, A!" kata temanku di kala senja menyerang dan kesedihan melanda.
Sewaktu itu, aku benar-benar tak bisa mengungkap sebuah kata ataupun sebuah tanya. Namun, salah satu hal yang ada di dalam diriku ini adalah rasa penyesalan, kesalahan, kesialan, dan kesedihan.
Sekarang di jalan yang bertuliskan Jalan Siliwangi, aku mengingat kembali ketika kita pertama kali bertemu dan harus mengakhirinya dengan kesedihan. Aku menatap pelang yang dulu kau tunjuk di depan toko buku. Aku menatap taman kota yang pernah kau injak. Aku benar-benar masuk kembali ke waktu yang pernah terjadi dulu.
"Kenapa terdiam, A?" tanya salah satu teman yang dulu pernah mengucapkan ikhlaskan saja itu.
"Aku mengingat, dulu, aku dengan si neng pertama kali bertemu di tempat ini dan harus berakhir juga di sini," jawabku dengan nada pelan.
"Sabar! Semua hal yang menyangkut dunia ini akan kembali lagi kapada Sang Penciptanya."
"Tapi, semua itu begitu menyakitkan buat aku. Sebab, mana mungkin hal yang dicintai, disayangi, dikasihi itu bisa hilang begitu saja," ujarku sambil melihat wajah lelaki yang berada di samping ini.
"Kan, bisa saja itu adalah hal terbaik untuk dirinya. Sabar, A," ucap temanku lagi.
- Baca Juga: Lelaki yang Diserang Kesedihan
Setelah ucapan itu, aku pun sangat malas lagi untuk merespon ucapan Riki—temanku—yang terus saja menguatkan diri ini dengan kata sabar. Entahlah! Semua hal yang menyakut dirimu itu kenapa sangat sulit dilepaskan di dalam jiwa.
Aku mencoba untuk mencari yang lebih baik darimu, tapi semua itu malah nihil. Aku mencoba untuk mencari yang seperti dirimu, tapi malah mendapatkan rasa sakit di dalam hati ini. Aku mencoba mengingat kata-kata dirimu bahwa semua wanita itu sama saja, tapi rasanya itu belum bisa diterima oleh hati ini.
***
Sudah hampir tiga tahun, aku harus menahan dan berpura-pura kuat tanpa dirimu. Bahkan, cinta pertama yang aku rasakan ini begitu menempel walaupun kau sendiri sudah tak ada.
Hampir setiap Jumat, aku melangitkan doa agar kau bisa mendengar bahwa diri ini sangat merindukanmu. Bahkan, sekertas kosong pun aku corat-coret untuk menciptakan karya yang menggambarkan dirimu. Aku benar-benar sudah seperti orang gila karena mana mungkin ada seorang lelaki yang masih saja menyimpan cintanya begitu kuat ini.
Waktu terus berputar pada porosnya, tapi hal yang menyangkut dirimu itu masih suka aku lukis; indahnya; wajahnya; matanya; rambutnya dan semua yang menempel di dalam dirimu aku lukis dengan kanvas dan cat merek kesukaanmu.
Andaikan kau masih ada, aku ingin sekali memperlihatkan lukisan ini. Kemudian, sepertinya kau pun akan menyukainya sambil berucap, bagus banget! Duh, andaikan kau masih ada, mungkin dunia ini tak akan terasa berat untuk dilalui olehku.
***
"Bagaimana, hatimu sudah baikan?" tanya Riki di kala udara malam sedang bergelayut manja menyerang tubuhku.
"Biasa saja," jawabku sedikit.
"Udah jangan memikirkan Alika terus!"
"Hah?"
"Jangan memikirkan Alika terus!"
"Sangat sulit untuk bisa mengiyakan ucapanmu itu," kataku dengan menatap tajam wajah Riki.
Riki pun tertunduk, mungkin saja dirinya ketakutan ataupun merasa bersalah karena sudah berbicara seperti itu kepadaku.
"Andaikan, semua yang aku rasakan ini menyerang dirimu, mungkin kamu juga akan merasakan hal yang sama seperti diriku," ujarku di hadapan Riki.
Temanku itu malah terdiam dan semakin menundukkan kepalanya serta sesekali menggaruk-garuk kepala yang mungkin tak gatal.
- Baca Juga: Penantian yang Tak Berujung
Kenangan yang terus berputar-putar di kepala menjadikan secangkir kopi pun malah luput dalam pantauan. Dingin. Secangkir kopi pun sangat dingin yang terus diobrak-abrik oleh udara malam, sedangkan temanku itu malah menjauh beberapa meter dariku.
Aku memahami, mungkin temanku itu sudah merasa salah sehingga mulai menjauh beberapa meter saja. Namun, aku pun sangat malas untuk bisa menciptakan obrolan yang hanya bisa menyudutkan dan menyuruhku untuk kuat. Sebab, kuat itu rasanya sudah saban hari aku lakukan tanpa sepengetahuan orang lain.
***
"Alika, aku ke sini lagi untuk bertemu denganmu. Aku ke sini lagi untuk bertemu denganmu," kataku di samping pusara wanita yang dirindukan ini.
"Aku ke sini untuk menceritakan hal-hal yang indah dan mungkin saja kau ingin sekali mendengarkannya," tambahku.
Selama setengah jam, aku menceritakan semua hal yang telah dirasakan. Bahkan, Riki hanya bisa menunggu saja di samping diriku, sedangkan air mata ini mulai menetes membasahi kemeja yang aku pakai.
Momen itu menjadi momen yang paling langka aku dapatkan karena di balik kesedihan, tentu ada rasa penyesalan yang sekaligus bisa diungkapkan. Mungkin saja, kau tak bisa mendengar lagi! Akan tetapi, aku pun sangat berharap dengan datang ke tempat ini bisa mengobati rasa rindu kepadamu.
"Alika, aku berharap kita bisa bertemu kembali di lain sisi, di lain waktu, di masa yang akan datang, dan aku tetap akan merindukan dirimu!" kataku sambil mengusap-usap nisan atas nama dirimu.(*)
2023
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar