Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Masih Saja Mengeja Namamu


Pagi yang udaranya bergelayut manja, aku masih saja menunggumu, melihat kembali pesan yang mungkin saja kau kirim. Namun, apa yang aku pikirkan dan harapkan itu malah hampa. Kemudian, aku masih saja mengeja namamu di balik pintu kamar yang terbuat dari jati. Aku masih saja mengeja namamu di sela-sela kehampaan yang sedang melanda.

Entah, sampai kapan aku seperti ini? Pertayaan itu pun kadang timbul dan tenggelam di dalam pikiran ini. Kemudian, udara pagi ini benar-benar dingin dan sudah seperti es batu yang ditempelkan pada tangan. Aku tertunduk. Aku terdiam seperti paku yang tertancap pada tembok. Aku tak bisa apa-apa lagi selain mengeja namamu yang setiap pagi kulihat di layar ponsel ini!

Mengeja namamu itu sudah seperti aktivitas untuk diriku. Ya, setiap pagi, aku tak pernah luput untuk melihat namamu di layar ponsel ini! Setiap pagi, hal semacam itu pun menjadi salah satu kerutinan yang entah akan sampai kapan aku lakukan itu terus? Kadang, pagi menjadi mendung! Kadang, pagi menjadi cerah! Namun, kerinduan itu hanya bisa aku lakukan dengan mengeja namamu agar bisa tampil lagi di layar ponsel ini. 

Andaikan, semua yang dilihatku sekarang ini bisa bicara, mungkin saja sudah aku suruh meneriakkan namamu. Namun, semua itu pun hanya menjadi salah satu hal yang sulit terjadi! Aku benar-benar menunggumu! Aku benar-benar selalu mengeja namamu! Sampai kapan pun! Hmm! Hal semacam itu pun menjadi salah satu yang paling terasa di dalam dada ini. 



Namun, masih untung juga dada ini masih naik turun saja! Coba bayangkan kalau dada ini sudah tak bergerak! Coba bayangkan! Mau bagaimana lagi diri ini yang selalu mengeja namamu itu?

Jika, hujan pun bisa berhenti! Jika, panas bisa mendung! Apakah hal-hal yang selalu mengeja namamu ini bisa dihilangkan? Hal semacam itu pun menjadi salah satu pertanyaan yang sulit aku jawab. Sekali lagi, aku benar-benar sudah selalu mengeja namamu di setiap pagi walaupun hati ini sedang mendung.

Melihat lagi fotomu di kala rindu ini bergelayut manja adalah keputusan yang sangat pas jikalau ingin selalu mengeja namamu. Kemudian, aku tertunduk di antara kepingan-kepingan kehidupan yang masih tercecer ini. Bahkan, aku pun malah terpaku untuk mengingatmu ketika sepi menggelayut kalbu. 

Mungkin, menurut orang-orang bahwa rasa ini adalah kemustahilan yang bisa terjadi. Namun, ya, seperti inilah aku harus selalu mengeja namamu di kala rindu; mengingat; mengenang dan semua rasa yang dipikirkan untukmu. Kemudian, hal-hal semacam itu pun sudah seperti rudal yang memborbardirkan suatu wilayah yang ramai; hancur.



Mungkin, kau tak pernah bertanya perihal hati! Oleh karena itu, mungkin saja kau tak merasakan bahwa ejaan namamu ini selalu kueja. Saban hari. Bahkan, setiap menit yang berputar 60 detik pun aku selalu mencoba untuk mengeja namamu. Apakah semua itu hanyalah ilusi yang bodoh? Entahlah, aku hanya bisa berharap dan berharap bahwa nama yang selalu kueja ini bisa menyapaku kembali di setiap saat.

Aku pun selalu tak mencemaskan perihal diri ini! Bahkan saban hari, aku pun sangat sulit untuk beristirahat dengan tenang seperti anak kecil yang tertidur lelap. Aku pun sangat sulit untuk mendapatkan momen seperti itu! Apakah ini adalah kecemasan yang melanda? Entahlah, aku tak peduli dengan semua itu!

Sudah kutuliskan dalam bait-bait puisi tentang namamu; ejaanmu; semua yang menempel di dalam dirimu. Namun, semua itu hanya bisa untuk mengobati sementara. Setelahnya, aku mengingatmu lagi dan ingin sekali beradu mata dan menanyakan, apa kabar denganmu? Apakah masih mengingatku? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu pun akan kulayangkan jikalau kita bisa beradu mata kembali.***


2022

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN