Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Aku, Kamu, dan Roti 2000-an

Aku, Kamu, dan Roti 2000-an

Pernahkah kau bertanya, tentang bulan dan bintang yang saling menghiasi di langit itu? Namun, kau hanya tersenyum ketika pertanyaan itu aku lemparkan di taman kota ini. 

Malam ini, sangat indah. Namun, keindahan itu malah menjadi salah satu bumerang bagiku. Entahlah! Apa yang tak pernah aku rasakan, malah menjadi nyata dirasakan. Entahlah! Mungkin, ini adalah ujian hidup. 

Masih aku ingat ketika pertanyaan itu menyerang dirimu. Sewaktu itu, kau memegang roti 2000-an. Ya, roti itu selalu kau bawa untuk menjadi teman di kala lapar sedang melanda. Aku termenung. Kemudian, aku pun tersenyum di kala itu. Entahlah! Mungkin, hal semacam itu adalah keunikan yang ditampilkan olehmu. Ya, jarang banget seorang wanita selalu membawa bekal roti di dalam tasnya. Uh, sungguh itu unik dan hanya dirimulah yang mampu seperti itu. 

"A, mau roti?" Sewaktu itu, kau malah menawarkan roti kepadaku.

Aku menggelengkan kepala. Aku tersenyum. Aku tak berkata sedikit pun. Kemudian, kau hanya membalasnya dengan cubitan ke lenganku. 

Mungkin, hal semacam itu adalah hal yang tak pernah terlupakan. Hal yang asyik untuk dikenang. Hal yang enak untuk dituliskan di dalam sini. Sampai, aku pun malah termasuk barisan orang-orang yang merindukan kekasihnya. 

"Bintang itu sangat bagus, A!" Kau berkata sambil memegang roti. 

"Iya."

"Bulan itu juga sangat bagus, A!" Kau berkata lagi sambil menunjuk bulan yang indah itu menggantung di cakrawala. 

"Iya."

"Hmmm. Kalau aku semakin cantik, tak, A?" Mungkin, kau kesal ketika ucapan-ucapanmu dijawab dengan satu kata. Oleh karena itu, pertanyaan enggak jelas seperti itu pun muncul ke permukaan.

Aku mengerutkan dahi lalu memandang tajam wajahmu, sedangkan kau malah menunduk seperti orang yang sedang terciduk ketika maling. Ya, kau sudah menjadi maling, maling hatiku ini untuk menjadi temanmu. 

Sewaktu itu juga, kita saling terdiam seperti ada batu yang mengganjal di tenggorokan masing-masing. Sampai, suara kendaraanlah yang berhasil mengagetkan kita berdua. Aku tertawa, sedangkan kau malah menutup muka. Aku tak paham kenapa kau malah menutup muka? Entahlah!!


***


Waktu terus berputar, sedangkan aku masih mengingatmu di sini. Apakah semua ini salah? Salah satu hal yang tak bisa dilepaskan itu malah hilang dan entah ke mana. Wanita yang selalu membawa roti itu tak pernah terlihat lagi. Bahkan, tak pernah juga menemaniku di kala duduk di taman ini. Sungguh, semua itu pun malah menjadi salah satu kerinduan yang melanda diri ini. 

Aku masih duduk di sini, menikmati kenangan yang terlukis di tempat ini. Mataku mulai menyapu setiap sudut taman, sedangkan hati masih merasakan rindu yang sangat berat. Duh, Gusti, apakah semua ini salah? Sekali lagi pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul di pikiran ini. 

Memang, tragedi yang memilukan itu sudah lama terjadi. Namun, hati ini belum bisa menerimanya. Aku jadi merasa bersalah. Uh, kenapa dulu, aku mengizinkan dirimu untuk berpergian sendirian? Kenapa? Aku merasa bersalah karena hal semacam itu pernah terjadi.

Andaikan dulu, aku menemanimu di kala kau mau berpergian, mungkin hal yang memilukan itu tak akan terjadi. Aku kalah. Aku lemah. Aku bersalah. Kata-kata semacam itulah yang selalu aku pikirkan.

Ya, memang kau ini pandai mengendarai mobil. Namun, kenapa kecelakaan itu bisa terjadi? Sekali lagi, andaikan dulu aku yang mengendarai mobil Nissan Juke warna merah itu, mungkin hal semacam itu tak akan pernah terjadi. Duh, Gusti, sekali lagi aku bertanya, kenapa bisa mengalami kecelakaan? 

Sungguh, awalnya, aku tak percaya dengan apa yang dialami dirimu. Mana mungkin, wanitaku yang selalu membawa roti itu bisa kecelakaan? Mana mungkin? Namun, kesedihan itu benar-benar nyata di kala setelah mendapakatkan kabar itu aku langsung ke rumahmu. Kemudian, langsung saja air mataku jatuh di kala melihatmu terbaring dan sudah tak berdaya lagi.

Pada saat itu pun aku ingin berteriak. Aku ingin menangis. Sungguh, pikiranku sudah kocar-kacir dan tubuhku ambruk di dalam rumahmu. Sekali lagi, aku benar-benar kalah oleh semua kejadian yang sedang melanda hati ini. 


***


"A, tetap kuat, ya!" kata Mamah di kala aku merenungi kepergianmu yang sudah tujuh hari itu.

Hati ini hancur. Bagaimana mungkin aku bisa kuat? Bagaimana mungkin aku bisa kuat ketika wanitaku hilang? 

Selama tujuh hari itu, aku merenung dan sangat malas untuk berbicara. Bahkan, sangat sulit juga untuk makan. Aku benar-benar dilanda kehancuran pada saat itu. Sungguh!

Hari ini, aku mengingat kembali kenangan yang pernah kita rangkai. Aku mengingat tentang kamu. Aku mengingat tentang roti 2000-an yang selalu kau bawa. Aku mengingat tentang taman kota yang sewaktu itu sudah menjadi saksi cinta kita. Aku mengingat itu semua dan izinkanlah menuliskannya di dalam sini![]


2022

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN