Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

SEMUANYA KARENA CINTA

Cinta


Jalanan masih tampak sepi, angin masih ingin menerobos ke celah-celah kemeja yang dipakai oleh Jaka. Ia sendirian duduk di halte bus sambil merenungi masa depan. Cobaan berat untuknya yang setiap hari harus bergelut dengan hidup ataupun mati. Namun, dari guratan wajahnya tampak sekali aroma kesabaran muncul ke permukaan. 

Ia berjalan menyusuri jalanan dengan pikiran bimbang. Harus bagaimana lagi mencari kebahagiaan, kata hatinya. Lampu-lampu warung pinggir jalan masih menyala, seolah-olah itu adalah penghias untuk langit yang masih berwarna hitam. Tak peduli lagi harus bagaimana mencari jalan keluar untuk mencapai kebahagiaan. Jaka pun rela hidup sendirian di kota, tanpa ada tempat untuk bernaung ataupun beristirahat yang indah. Ia mengandalkan kardus-kardus bekas untuk menjadi alas dan tidur pun di mana saja: di halte bus, depan toko, pasar, dan kadang juga di musala. 

Pukul 04.00, ia berdoa, semoga diberikan kekuatan untuk kehidupan yang berat ini. Ia pergi ke kota, niatnya untuk bekerja. Namun, sesudah sampai di kota malah sebaliknya. Ia hanya menjadi orang yang luntang-lantung mencari pekerjaan. Sampai-sampai, lelaki berkulit sawo matang itu sering mengucurkan air mata untuk melampiaskan hidup yang menurutnya tak adil ini. 

"Di mana, A?" tanya lelaki tua berambut perak yang berjalan mendekatinya. 

Jaka beristirahat di kursi warung yang sedari tadi berjalan untuk mencari jati diri.

"Kampung, Pak," jawab Jaka singkat. 

"Terus ke sini mau apa? Mau ke sodara atau mau apa?"

"Niatnya mau kerja, tapi kacau di tengah jalan." 

"Sabar!"

Lelaki tua itu terus mengobrol dengan Jaka, sampai ia pun memperkenalkan dirinya. Ia mempunyai nama Kosim dan menurut lelaki tua itu panggil saja dengan sebutan Abah Kosim. Wajah yang sudah mulai keriput, telapak tangan sudah kasar sepertinya ia adalah seorang pekerja keras sewaktu mudanya. Namun, Jaka tak mau mengetahui lebih detail tentang masa mudanya. Sebab menurutnya, lelaki tua itu sangat beruntung masih diberikan kesehatan sampai saat ini. 

Udara di kota memang berbeda sekali dengan kampung tempat tinggal Jaka. Panas. Sesak. Bau. Bahkan, tak terasa sekali udara yang segar masuk ke dalam hidungnya. Entah, apa sudah enggak ada ataupun sangat sedikit adanya. Memang, sangat sulit tinggal di kota itu. Baru saja sebentar ada di kota, Jaka sudah kelimpungan menyeimbangkan kehidupan yang barunya. Sampai, setiap ada kentut kendaraan yang seakan-akan mengejeknya, lelaki muda itu kesal dan umpatan-umpatan pun keluar dari mulutnya.

"Gimana kalau tinggal dulu di sini?" tanya Abah Kosim. 

"Maksudnya, Bah?" Jaka balik tanya, "aku tak mengerti." 

"Kamu, tinggal dulu sama abah di sini! Mau?" 

"Rumah Abah, di mana?" 

"Tuh, di sana!" Abah Kosim, menunjuk ruko kelontongan yang berada di seberang jalan berhadapan percis dengan warung tempatnya duduk bersama Jaka. 

"Gimana, ya, Bah?" 

"Kamu, juga bisa bantu-bantu di sana sambil mencari pekerjaan yang kamu inginkan." 

Selama sepuluh menit, Jaka memikirkan apa yang harus diambil. Ia pun dengan sangat matang mendapatkan jawaban yang berasal dari hatinya. Lelaki yang sedari tadi menggendong ransel berwarna hitam itu melontarkan jawaban:

"Iya, Bah. Aku mau tinggal sementara dulu di sana dan terima kasih sudah memberi kesempatan untuk aku tinggal di ruko Abah, ya!" 

Abah Kosim pun tersenyum dan mengacak-acak rambut Jaka. Kemudian, ia mengajak kepada Jaka untuk mengayunkan kaki menuju ruko kelontongan miliknya.


***


Toko kelontongan Abah Kosim ramai sekali oleh para pembeli. Jaka sibuk sekali melayani pembeli dengan sebisanya. Namun, enggak tahu kenapa, bulat mata yang dimilikinya memunculkan harapan ketika melihat wanita berkerudung putih pembeli telur satu kilogram di toko Abah Kosim. Wajah wanita itu seperti rembulan yang menyinari hatinya. Bercahaya. Bahkan, hatinya mendadak bangun dari masa ketidakadilan yang sering dirasakan oleh lelaki muda itu. 

Abah Kosim memandang Jaka yang terus melirik ke arah wanita berkerudung putih itu. "Sepertinya, dia naksir," katanya pelan. Lelaki tua itu bangun dari duduknya, lalu memergoki Jaka yang sedang curi-curi pandang kepada seorang wanita muda itu. 

"Apaan, sih, Bah?" tanya Jaka dengan malunya sudah dipergoki oleh Abah Kosim.

"Kenapa liatin gadis itu mulu!" 

"Cantik," lirihnya. 

"Kalau kamu, lelaki sejati. Samperin sana!" 

"Malu, ah."  

Jaka tak bisa mendekati wanita itu. Ia tak punya pengalaman untuk mendekati wanita. Bahkan, pelajaran sewaktu di sekolah pun tak ada yang mengajarkan tentang cara mendekati wanita. Ia benar-benar menjadi ki-kuk ketika Abah Kosim menyuruh untuk mendekati wanita itu. Sungguh, batinnya pun menjadi tak karuan. Sampai-sampai, detak jantungnya berdetak cepat dan telapak tangannya mendadak dingin. Apakah ini yang dinamakan cinta kepada pandangan pertama? Ia pun tak mempunyai jawaban tentang pertanyaan yang tiba-tiba ada di dalam otaknya. 

Wanita berkerudung putih itu berjalan ke arah Jaka. Jantung lelaki muda itu tambah dag-dig-dug terus. Ia menjadi salah tingkah. Ngapain, sih, mendekat, lirih Jaka. Kemudian, ia cepat-cepat menundukkan kepala takut kepergok oleh wanita muda itu, malu. 

"A!" panggil wanita berkerudung putih itu yang sudah ada di hadapan Jaka. 

Hati Jaka mendadak meleleh ketika mendengar panggilan yang dilontarkan oleh wanita cantik itu. Suaranya indah. 

"Iya, mau beli apa lagi?" tanya Jaka dengan basa-basi khas penjual. 

"Nggak, saya mau minta tolong saja!" 

"Tolong apa?" 

"Itu, motor yang ada di belakang motor saya ngehalangin. Motor sayanya mau keluar. Tolong bisa dipundurin nggak, motornya?!" Wanita itu sambil menunjuk ke arah motornya. 

"Oh, itu! Tunggu, ya!" Jaka pun langsung mengayunkan kaki ke tempat parkir yang ada di depan ruko, terus memindahkan motor yang menghalangi motor wanita cantik itu. 

Setelah Jaka berhasil memindahkan motor, wanita berkerudung putih itu tak lupa untuk mengucapkan terima kasih. Kemudian, Jaka pun tersenyum sambil berkata, "Boleh kenalan, nggak?" 

Wanita itu pun membalasnya dengan senyuman sambil berucap, "Boleh." 

"Nama aku Jaka," kata Jaka, "kalau, kamu?" tambahnya. 

"Panggil saja Rosita," jawab wanita yang mempunyai mata indah itu. 

"Nama yang indah," lirih Jaka. 

"Apa?" 

"Nggak." Jaka tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. 

Sekitar lima belas menit berkenalan, Rosita pamit kepada Jaka untuk pulang ke rumahnya. Tak lupa juga lelaki itu meminta nomor ponselnya, tetapi Jaka gagal dalam percobaan pertamanya untuk mendapatkan kontak Rosita. Ia pun dengan sabar memaklumi kegagalan itu. Dalam hatinya berbicara, mungkin karena baru kenal. 


***


"Neng, malam aku akan ke rumahmu!"

"Untuk apa, A?" tanya Rosita begitu penasaran. 

"Untuk meminta restu orang tuamu," jawab Jaka mantap. "Apakah boleh?" lanjutnya ia balik tanya.

Rosita hanya mengangguk saja.

Sudah satu tahun mereka pacaran dan perjalanan selama itu sangat indah. Bahkan, satu pertengkaran yang serius pun tak mereka temui. Jaka merasa sangat beruntung mendapatkan pacar seperti Rosita yang selalu memberikan support dalam hal apa pun. Ia sendiri sangat mantap ingin meminang wanita berhidung mancung itu untuk menjadi pendamping seumur hidupnya. 

Langkah demi langkah sudah mulai ia siapkan. Dimulai dari: biaya lamaran, resepsi, dan segala macam pendukung untuk melaksanakan akad nikah sudah ia siapkan. Oleh karena itu, Jaka sangat mantap untuk meminta restu kepada kedua orang tua Rosita. 

Jam tangan yang dimiliki Jaka sudah menunjukkan pukul 19.O0, ia pun sudah berada percis di depan pintu rumah Rosita. Tak menunggu lama lagi, pintu itu diketuk dengan rasa yang ada di dalam dada semakin dag-dig-dug. Jaka sendiri mencoba untuk mengontrol rasa itu, agar tak tampak ke permukaan. Ia tahan. 

Pintu pun dibuka oleh wanita yang sudah bisa mengisi hatinya. Jaka tersenyum. Rosita pun ikutan tersenyum ketika melihat Jaka di hadapannya. Lelaki itu pun langsung dipersilakan masuk oleh Rosita. Kemudian, disuruh duduk di kursi yang berada di tengah rumah. 

"Tunggu, bentar di sini, ya!" suruh Rosita. "Aku akan panggilin mamah dan papa dulu, ya!" lanjutnya. 

"Oke." Jaka pun duduk, sedangkan kedua bulat matanya menyapu seluruh ruangan tengah rumah. Bagus.

Setelah menunggu sepuluh menit, wanita yang ditunggu-tunggu pun muncul lagi bersama kedua orang tuanya. Rosita mengenalkan orang tuanya kepada Jaka. Setelah itu, mereka saling mengobrol sambil berkenalan lebih jauh. 

"Maaf, Jaka ke sini itu mau apa?" tanya Papa Rosita ke hal yang serius. 

"Aku mau meminta restu untuk bisa menikahi putri, Bapak!" Tanpa ba-bi-bu lagi, Jaka berucap kepada intinya. 

"Apa!?" Mama Rosita kaget. 

"Maaf, Jaka! Bapak itu sudah menjodohkan putri bapak ini dengan anak teman bapak. Jadi, mohon maaf, bapak nggak akan memberi restu untuk kamu bisa menikahi putri bapak ini!"

"Pak, itu benar?" tanya Rosita yang baru tahu itu.

Jaka mulai gelisah, telapak tangannya mulai dingin.

"Iya, Nak. Jadi, bapak nggak akan merestui hubungan kalian ini!" Papa Rosita pun berdiri, lalu mengayunkan kaki menuju dalam kamar. Ia tak berbicara panjang lebar lagi. 

Mendengar apa yang dikatakan oleh Papa Rosita membuat Jaka galau. Ia tak mampu lagi untuk berkata. Bahkan, hatinya sudah porak-poranda. Ia menahan air yang ingin sekali keluar dari mata, sedangkan berbeda sekali dengan Rosita. Wajah wanita yang Jaka sayangi itu sudah banjir oleh air mata. Namun, sang mama terus mencoba untuk menguatkan Rosita agar bisa menerimanya dengan lapang dada. 

Jaka berdiri dari tempat duduknya, kedua bulat mata yang ia miliki memandang Rosita. Kemudian, lelaki itu tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia begitu sedih seperti hatinya sudah dibom atom, hancur. Lelaki itu berjalan keluar rumah, tanpa pamit kepada Rosita maupun mamanya. Ia menunduk seperti kalah di medan pertempuran.


***


Setelah dua tahun, Rosita menjalin biduk rumah tangga bersama Ahmad. Mereka pun sering jalan-jalan ke taman kota. Banyak sekali yang bisa dipandang di taman kota itu dimulai dari: kupu-kupu yang menjadi penghias taman, anak-anak yang main bersama keluarganya dan ada juga seseorang yang sedang duduk terus sambil memegangi setangkai mawar. Rosita pun memandang itu semua, sedangkan Ahmad sering banget membelikan es krim untuk menemani mereka berpacaran setelah menikah. 

"Gimana es krimnya, enak?" tanya Ahmad. 

"Enak, Mas," jawab Rosita singkat.

Dari kejauhan, lelaki yang duduk sambil memegangi setangkai mawar itu melihat terus ke arah mereka—Rosita dan Ahmad. Lelaki yang berada di samping Rosita itu melihat balik. Kedua lelaki itu saling tatapan. Kemudian, Ahmad bertanya kepada Rosita:

"Sayang, kenapa lelaki itu ngeliatin kita terus?" 

Mendengar pertanyaan semacam itu, kedua bolat mata Rosita mencoba untuk melihat lelaki yang dimaksud oleh suaminya.

"Biarkanlah, Mas!" 

"Tapi, aneh saja melihatnya." 

"Mas, boleh aku minta tolong!" Rosita mencoba mengarahkan pembicaraan.

"Tolong apa?" 

"Tolong belikan minuman botol di sana, ya!" Tangan Rosita menunjuk salah satu warung di pinggir jalan taman kota. "Aku haus, Mas." 

Tak perlu berpikir panjang, Ahmad pun mengiyakan permintaan Rosita itu. Ia langsung mengayunkan kaki menuju warung. Kedua bulat mata Rosita pun mengikuti suaminya sampai menjauh dari hadapannya. 

Setelah suaminya benar-benar masuk ke dalam warung, Rosita mendekati lelaki yang duduk terus sambil memegang setangkai mawar itu. Kemudian, ia berbicara: 

"A, kenapa kamu melakukan seperti ini? Setiap aku ke sini, kamu, selalu duduk murung sambil memegang mawar. Tolonglah, A, jangan terus seperti ini! Aku jadi merasa salah, kalau Aa seperti ini terus. Cinta kita tak akan bisa bersatu lagi dan aku pun sudah menikah dengan Mas Ahmad. Tolong, A, jangan sedih terus. Jangan aku merasa bersalah banget dan aku pun sangat sedih melihat Aa seperti ini itu!" Rosita meneteskan air mata di hadapan pacarnya sewaktu belum menikah dengan Ahmad. 

Lelaki yang ada di dekat Rosita itu berdiri, lalu ia berjalan meninggalkan Rosita dengan setangkai mawar masih di tangan tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Sayang!" panggil Ahmad mengangetkan Rosita.

Rosita membalikan badan dan Ahmad pun bertanya, "Ada apa? Kok, kamu, di sini?" 

"Nggak apa-apa, Mas. Tadi, ingin jalan-jalan saja," jawab Rosita yang terpaksa berbohong kepada suaminya itu.[]


2020

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN