Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Sajadah Pengantar Tobat

Sajadah


"Ini cangkir terakhir!" Mata si Komik sudah teler dengan satu liter tuak meluncur ke dalam jiwanya. 

Si Komik nge-play pikirannya melayang ke atas awan, tetapi ia lemas dengan tubuh terbaring di lantai beranda rumahnya. Suara yang keluar dari mulutnya sudah tidak teratur, bau tuak pun sangat menyengat. Mungkin, bukan hanya tuak saja. Namun, dioplos dengan obat-obatan lainnya. 

Si Leunyai menemani lelaki berambut merah itu. Mereka sama-sama meminum tuak dengan diselingi kacang asin. Bahkan, cangkang kacang asin pun berserakan di depan mereka. Sesekali mereka bergumam sendiri-sendiri, sampai tertawa-tawa sendiri. Mereka saling memegang cangkir, lalu menuangkan tuak untuk mencari yang terkuat dalam meminumnya. Setelah si Komik unggul satu cangkir dari si Leunyai, mereka pun teler bersama hingga tersungkur ke lantai. 

Ma Ijah, ibunya si Komik itu sudah berumur dan ia sendiri disibukan dengan mengumpulkan pahala yang lebih banyak lagi. Setiap hari, ia tidak lepas dengan kewajiban yang harus dilakukan; ibadah lima waktu. Bahkan, sampai yang sunah pun ia bisa lakukan. Namun, berbanding terbalik dengan anak semata wayangnya yang jauh dari kesalehan. Bahkan, lelaki yang beranting itu pun tidak suka beribadah. 

Suara-suara di beranda rumah, sangat mengganggu aktivitas ibadah yang mau dilakukan Ma Ijah. Namun, wanita yang sudah ditinggalkan oleh suaminya itu pun tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak mampu untuk menegur anaknya itu. Setiap ia coba tegur, si Komik malah nyerang balik ke arahnya dengan umpatan-umpatan menghujam dadanya.


*


Saban harinya, si Komik kerja serabutan. Namun, banyak orang yang menyukai pekerjaannya. Ia bagaikan robot yang tidak pernah cape sebelum benar-benar selesai kerjaannya. Tarif yang ia patok pun lebih murah dari orang lain. Oleh karena itu, ia selalu menjadi primadona bagi orang yang mau menyuruhnya bekerja. 

Lelaki yang mempunyai tato gambar soang di lengan kanannya itu pun banyak bisanya. Orang-orang pun sangat mengenal dirinya kalau ada yang mau mengecat rumah, membenarkan pintu, finishing, si Komik menjadi harapan mereka untuk mengerjakan hal semacam itu. Namun, lelaki yang masih muda itu pun tidak bisa bekerja sendirian dan harus ada temannya; obat-obatan; tuak; bir topi miring. 

Hal cemas, bagi orang yang belum mengetahui ia kerja dengan bantuan semacam itu. Namun, semua itu tidak menghalangi ia untuk kerja dengan sebaik-baiknya sehingga bisa memuaskan orang yang menyuruhnya. Bahkan, di kala si Komik bekerja untuk membuat sumur sedalam sepuluh meter pun ia meminum dulu tuak dioplos dengan butiran warna kuning. Ini untuk penambah stamina, katanya dengan enteng, seolah-olah robot yang diberi daya dulu sebelum bekerja. 

"Ini sudah berapa dalam?" tanya Bapak Solihin kepada si Leunyai. 

Si Komik bekerja biasanya berdua dengan si Leunyai. Mereka itu pasangan emas dan saling berbagi tugas; si Komik menggali, sedangkan si Leunyai menarik tanah hasil galiannya.

"Kira-kira baru delapan meter, Pak," jawab si Leunyai, sambil menggeret tali yang menempel ke koil untuk menimba tanah.

"Hati-hati, ya!"–Si Leunyai masih menimba tanah–"makan dulu! Di sana sudah disiapkan!" Bapak Solihin menunjuk ke arah meja beranda rumahnya. 

Si Leunyai mengangguk dan melanjutkannya dengan menjawab, "Iya, siap, Pak." 

Sekitar sudah sepuluh menit berlalu, cacing yang ada di dalam perut si Leunyai mulai memberontak seperti sedang anarkis. Ia pun mengaitkan tali yang dipakai untuk menimba tanah itu ke bambu.

"Mik, ayo naik dulu! Kita makan dulu, yuk!" teriak si Leunyai. Si Komik pun mengiyakan teriakkan pasangan emasnya itu, lalu mereka membersihkan tangannya untuk makan. 

Nasi putih berteman dengan tempe goreng, tahu goreng, sambal, timun, dan ikan asin masuk ke dalam perut mereka. Sungguh, mereka pun sangat menikmati makanan khas ini. Bahkan, si Komik sampai menambah tiga kali dan si Leunyai nambah dua kali. Satu piring tempe pun ludes oleh mereka dan teh manis yang menjadi pendorong di saat seret pun habis seteko ukuran satu liter. Mereka pun sangat kenyang dengan hidangan yang diberikan oleh Bapak Solihin.

Perut sudah terisi yang menjadikan cacing-cacing di dalam perut si Leunyai tidak anarkis lagi. Bahkan, kedua lelaki itu mengistirahatkan dulu tubuhnya sebentar di kursi yang berada di beranda rumah Bapak Solihin. Si Komik pun mengambil sebungkus cerutu dari saku celananya. Kemudian, ia menaruhkan ke meja dengan korek gas menempel di atas bagian bungkus cerutunya. Lelaki yang berambut merah itu pun mengambil sebatang cerutu, lalu ujungnya dibakar oleh korek gas. Asap-asap pun mulai keluar, ia isap ujung cerutu yang tidak terbakar. Kemudian asap-asap itu masuk ke mulutnya, lalu ia keluarkan dengan membentuk seni yang indah berbentuk bulat-bulat. 

Si Leunyai hanya bisa memandang saja kelakuan yang sedang dilakukan oleh temannya itu. Ia tidak suka banyak bicara sehingga rasa cool pun sering menempel untuknya. Namun, berbanding terbalik dengan tampang kurang dari standar apa yang disukai oleh perempuan. Jadi, rasa cool yang ia tampilkan pun sering tidak dianggap oleh perempuan. 


*


Uang hasil kerja sebagai tukang gali sumur sudah berada di tangan si Komik. Ia pun langsung menghubungi pasangan emasnya, seolah-olah seperti perangko yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Sejuta, kata si Komik, ia pun sangat bahagia mendapatkan bayaran yang lumayan tinggi itu. Biasanya, ia kalau membuat sumur hanya dibayar 750 ribu dan itu pun belum dengan uang makan. Sungguh, lelaki yang suka memakai gelang rantai dan batu giok menempel di kalungnya itu, sangat tidak menduga-duga mendapatkan bayaran berbeda dari biasanya. 

"Ini uang, kita buat apa, ya?" tanya si Komik yang sudah berhadapan dengan si Leunyai di depan warung nasi.

Si Leunyai melihat ada seorang wanita yang berjalan di depannya dengan harum semerbaknya masuk ke hidung, seperti harum roti di etalase toko bisa tercium, tetapi enggak bisa disentuh. Pikiran ia menjadi melayang ke atas awan, membayangkan bisa berdua dengan si Cantik yang barusan lewat di depannya sewaktu ia berdiri. 

Si Cantik menjadi primadona di kampungnya, sekaligus ia artis dangdut yang suka nyanyi panggung ke panggung. Perempuan itu mempunyai rambut pirang yang panjangnya sebahu, matanya cokelat dengan lekukan bodinya seperti gitar Spanyol, dan bagian dadanya sangat menonjol. Si Leunyai pun menjadi tergila-gila kepada perempuan itu, pada saat pertama melihatnya di panggung hajatan Bapak Tarjo samping rumahnya. 

"Aku ingin mengencani dia!" Si Leunyai pun berkata sambil bulat matanya memandang gerak si Cantik. Si Komik pun mencoba mengikuti pandangan yang sedang dituju oleh pasangan emasnya itu. 

"Nggak mungkin kalau itu, mah!" Si Komik pun menepuk pundak temannya itu. "Kita belikan saja tuak atau topi miringlah! Biar, nggak pusing!" 

"Asem, lu!"

"Gimana?" 

"Terserah lu aja, deh!" 

Sewaktu sore tiba, si Komik membawa dua liter tuak yang berada di dalam jerigen. Si Leunyai tidak menyukai apa yang dibawa pasangan emasnya itu. Ia pun menatap serius ke wajah si Komik. Namun, lelaki yang mempunyai rambut merah itu malah menganggap biasa saja atas tatapan si Leunyai. Uangnya habis untuk bayar hutang, kata si Komik, ia pun langsung menuangkan tuak itu ke dalam ember dan dioplos lagi dengan bahan lainnya. 


*


Meja makan sangat sepi, tidak ada nasi ataupun lauk yang menjajakan dirinya. Si Komik tampak kesal sekali ketika melihatnya, sedangkan masalah perutnya masih mengeluarkan bunyi-bunyian. Ia berteriak memanggil emaknya yang berada di dalam kamar. Setiap si Komik pulang ke rumah, Ma Ijah sering sedang berzikir dengan duduk di sajadah kesayangannya. Itu semua dilakukan dengan cara yang khidmat, sampai suara teriakkan anaknya pun ia tak dengar. 

Pintu kamar Ma Ijah pun digedor-gedor oleh si Komik. Wajahnya sudah terbakar dengan bulat mata melotot tajam, tangannya pun sudah mengepal dan urat-uratnya sudah menonjol. Suara teriakan lelaki yang berdiri di depan pintu kamar Ma Ijah itu sangat menggema. Kucing yang ada di ruang tamu pun kocar-kacir lari keluar rumah ketika mendengar suara menggelegar si Komik.

Wanita yang sedang zikir itu pun merasa terganggu dengan suara yang begitu menggelegar dari mulut anaknya. Ia pun berdiri dari tempatnya berzikir dan menyimpan tasbih yang dipegang ke kasur. Kemudian, mengayunkan kakinya untuk membukakan pintu. 

"Ada apa, sih?" tanya Ma Ijah. Si Komik berdiri di depannya dengan kedua telapak tangan berposisi menempel pinggang. 

"Itu di meja makan, nggak ada nasi sedikit pun! Aing téh lapar!" Si Komik menjawabnya dengan suara yang tinggi. 

"Emak nggak punya duit. Jadi, belum masak sedikit pun!" 

"Duh, aing, mah. Kata Komik juga jangan berzikir terus, lebih baik cari duit sana. Aing lapar pokoknya!" 

"Astagfirullah, Komik. Kamu, ngomong apa tadi?" Ma Ijah menampar si Komik. "Kabur, manéh! Kabur ...!" lanjutnya dengan suara yang tinggi.

"Siap, aing érék kabur! Aing, mah, sudah nggak sanggup lagi hidup miskin itu!" 

Wajah Ma Ijah sudah dipenuhi air bening yang keluar dari mata. Ia tak mengetahui lagi harus dengan cara apa mendidik anak semata wayangnya itu. Wanita paruh baya itu hanya bisa menyentak, tetapi selalu dibalas dengan umpatan-umpatan yang keras menghujam dirinya. Ujung mukena yang ia pakai pun dipakai untuk mengeringkan air mata di wajahnya.

Melihat si Komik mengayunkan kakinya keluar rumah. Ma Ijah hanya mematung di lawang pintu kamarnya dengan tenggorokan seperti ada batu yang mengganjal. Namun, hatinya merasakan kekacauan yang melanda. Anak lelaki yang diharapkannya malah mengecewakan dan membuat hatinya teriris menciptakan kesedihan. 

Setelah melihat si Komik benar-benar meninggalkan rumahnya, Ma Ijah menyandarkan punggungnya ke kursi yang berada di tengah rumah dengan mukena masih menempel di tubuhnya. Bulat mata yang dimilikinya tampak kosong memandang ke depan. Pikirannya pun berputar dengan tak menyangka ia mempunyai anak semacam itu. Anak durhaka, katanya, seolah-olah ia tidak dianggap emaknya oleh si Komik. 


*


Rumah Ma Ijah dikerumuni oleh banyak orang; tetangganya, ustaz, Pak RT. Bahkan, banyak orang yang mengeluarkan air matanya ketika mendapat kabar Ma Ijah kembali ke Rahmatullah. Orang-orang tersebut tak menyangka dengan meninggalnya Ma Ijah yang secara mendadak gini. Ma Ijah sendiri tadi pagi masih bisa menyapu halaman, kata seseorang yang mengurus jenazah wanita paruh baya itu. Mungkin ini sudah takdirnya, kata seseorang lagi, mereka pun menunggu kedatangan si Komik yang sudah satu bulan meninggalkan rumah entah ke mana. 

"Pak, apakah anaknya sudah dikabari?" tanya seorang lelaki tua yang berkumis perak kepada Pak RT. 

"Oh, tadi sudah dicari dan dikabari. Posisi si Komik sekarang itu ada di terminal. Jadi, tunggu saja sampai pulang ke sini!" 

"Oh, syukur kalau gitu. Kita tunggu saja!" 

Jenazah Ma Ijah pun dimandikan yang sebelumnya tergeletak di sajadah tempat ia biasa berzikir. Tempat memandikannya berada di luar rumah dengan ke empat sampingnya dihalangi oleh tirai. Sebanyak empat orang yang memandikan jenazah Ma Ijah dengan terdiri dari wanita semua. 

Setelah dimandikan, jenazah Ma Ijah langsung dipakaikan kain kafan dan disiapkan untuk disalatkan di Masjid Orang-Orang. Namun, para warga yang berada di rumah Ma Ijah itu masih menunggu kedatangan anak semata wayangnya. Warga-warga pun sambil menunggu anaknya pulang, mereka membacakan surah Yasin yang dipimpin oleh Ustaz Soleh dengan khidmat.

Warga-warga masih selalu sabar dan sangat perhatian dalam mengurus jenazah Ma Ijah. Sungguh beruntung Ma Ijah, sewaktu hidupnya mempunyai tetangga yang cukup baik. Setelah para warga harus menunggunya kurang lebih empat jam, lelaki yang ditunggu-tunggu pun sudah terlihat di depan pintu rumah. Namun, sesaat si Komik berada di samping Ma Ijah, tubuhnya yang sangat dibanggakan ketika berada di depan emaknya sewaktu dulu itu. Akhirnya, ambruk juga di samping Ma Ijah dengan air bening yang bobol dari mata membasahi wajahnya. 

Lelaki itu tak menyangka harus berakhir seperti ini. Ia pergi meninggalkan emaknya di kala lapar yang menggerogoti perut sehingga si Komik disuruh kabur, karena mengeluarkan umpatan-umpatan menyakiti dalam dada Ma Ijah. Sekarang, ia tidak bisa merasakan lagi adanya orang tua. Si Komik menangis tersedu sedan sambil memeluk emaknya yang sudah pergi untuk meninggalkan ia selamanya.


*


"Jangan masukan aku ke api!" teriak si Komik. "Tolong ... tolong ...!"

"Kamu, banyak dosa!" Sesosok jangkung besar berbicara kepada si Komik. 

"Aku tidak punya salah apa-apa." Si Komik makin ketakutan, saat dirinya mau diterjunkan ke dalam api

"Kamu, sudah salah banyak kepada orang tua!" Sesosok jangkung besar itu semakin mendekatkan si Komik untuk terjun ke dalam api. 

"Maafkan aku ... maafkan aku!" Si Komik mengeluarkan air matanya hingga menetes ke baju yang ia pakai. 

"Mik, bangun ... bangun!" Tangan si Leunyai pun mendorong-dorong tubuh si Komik. 

Si Komik pun tersentak bangun dan ia pun tampak merasakan keanehan dengan dirinya. Si Leunyai yang berada di sampingnya pun bertanya, "Ada apa denganmu?" 

"Aku merasakan mimpi yang sangat buruk," jawab si Komik dengan sorot mata yang ketakutan. 

"Terus?" 

"Aku takut." Tangan si Komik menjadi dingin.

Si Komik langsung berdiri dari tidurnya, ia mengayunkan kakinya menuju kamar Ma Ijah untuk mengambil sajadah yang biasanya menjadi alas emaknya itu berzikir. Setelah dua bulan kepergian emaknya untuk selamanya, Si Komik jarang banget untuk masuk ke dalam kamarnya Ma Ijah. Bahkan, baru sekarang lagi, ia masuk untuk mengambil sajadah dan merangkai kembali kenangannya yang menempel di setiap sudut kamar. 

Lemari tempat pakaian Ma Ijah sangat tidak terurus sehingga kayu-kayu sudah termakan rayap. Bahkan, kalau ditendang pun akan ambruk dan rusak. Maka, si Komik pun sangat hati-hati sekali untuk mengambil sajadah kesukaan emaknya itu. 

Setelah berhasil mengambil sajadah, lelaki yang mempunyai tato gambar soang di lengannya itu pun berdiri, seolah-olah ia mengingat-ingat sesuatu. Aroma yang keluar dari sajadah pun ia cium. Pikirannya pun langsung tersambung kepada mimpi buruk yang datang kepadanya. Harus tobat, kata si Komik. Ia pun langsung mengayunkan kakinya dengan cepat menuju surau. Si Leunyai pun hanya bisa mengikutinya dari belakang. 

Tangannya masih memegang sajadah kesayangan Ma Ijah. Ia pun tak memperdulikan jalan yang bergelombang; batu dan kerikil. Mengayunkan kakinya seperti sedang mengejar maling. Bahkan, ada orang yang menyapa dirinya pun oleh si Komik pun dicuekin. Sombong, kata orang-orang yang dicuekin oleh si Komik, tetapi lelaki yang rambutnya masih berwarna merah itu tidak memperdulikannya. Ia terus mengayunkan kakinya sehingga bisa sampai dengan cepat di surau.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung melepaskan sandal jepitnya. Kemudian, langsung masuk ke dalam surau dengan si Leunyai masih mengekor dari belakang tubuhnya. Melihat Ustaz Soleh sedang duduk bersila dan melayangkan zikir secara khidmat pun langsung ia peluk dari belakang. Si Komik menangis seperti anak yang baru melihat bapaknya lagi.

"Ustaz, aku ingin tobat," lirih si Komik. Ustaz Soleh yang awalnya kaget merasakan tubuhnya ada yang meluk tiba-tiba. Akhirnya, ia membalikan tubuhnya dan membalas pelukan lelaki yang menangis ingin tobat itu.

"Kamu, harus bisa merenung dan minta ampun kepada Allah!" 

"Caranya?" Si Komik melepaskan pelukannya, lalu memandang serius Ustaz Soleh. 

"Solat Tobat. Setelahnya, langsung minta ampun kepada Allah!" 

"Bacaannya, aku tak bisa." Si Komik masih duduk di depan Ustaz Soleh. Si Leunyai pun hanya bisa berdiam dan menyimak saja perkataan si Komik dengan Ustaz Soleh. 

Mendengar keinginan si Komik yang ingin tobat dan mengakui semua kesalahannya membuat hati Ustaz Soleh tergerak untuk membantunya. Lelaki yang memakai gelang rantai itu langsung diajarkan tentang bagaimana cara tobat yang baik. Maka, si Komik pun sangat bahagia bisa diberikan ilmu oleh Ustaz Soleh. Si Leunyai yang dari tadi hanya menyimak pun, akhirnya ia mengikuti pasangan emasnya itu untuk tobat juga. 

Si Komik pun disuruh oleh Ustaz Soleh untuk menghafalkan niat untuk salat Tobat. Bahkan, sampai sesekali ia dipukul tangannya menggunakan serban kalau hafalannya masih salah. Si Leunyai pun sama dengan pasangan emasnya itu. Kadang mereka mengetuk-ngetuk kepala masing-masing kalau bacaan niat yang diberikan Ustaz Soleh itu belum bisa terhafal juga. 

Setelah, kedua orang yang dulunya suram itu berhasil menghafal. Akhirnya, mereka melakukan salat Tobat untuk yang pertama kalinya dengan perasaan gugup bisa terlihat dari raut wajah masing-masing. Ustaz Soleh pun memandang mereka dengan serius sambil memerhatikan gerak-gerik dan bacaan yang keluar dari mulut kedua lelaki itu. Si Komik berada di sajadah kesayangan emaknya, sedangkan si Leunyai berada di sajadah yang dimiliki oleh surau. Namun, semua itu tak menjadikan persoalan bagi Ustaz Soleh karena yang ia merasakan kedua lelaki itu bisa benar-benar tobat pun sudah bahagia. 

Setelah salat, pasangan emas itu pun meminta maaf kepada Allah. Air bening yang berada di kedua mata masing-masing mereka pun bobol juga sehingga membasahi sajadah. Si Komik bersujud dan berpasrah diri kepada Allah untuk memohon maaf dengan hati yang sungguh-sungguh, sedangkan si Leunyai pun selalu mengikuti temannya itu. 

"Akhirnya, kampung ini kehilangan dua orang yang begundal," gumam Ustaz Soleh, sambil bulat mata yang dimilikinya pun menyorot kedua lelaki yang sedang memohon ampunan. "Alhamdulillah." Kedua tangannya mengusap wajah.[]


2021

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN