Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

WANITA TAMAN KOTA


SETIAP MALAM, taman kota selalu menjadi tempat untuk saya mencari hiburan. Menetralisir otak. Bahkan, hanya duduk saja untuk mencari angin segar. Entah, karena apa? Saya cukup menyukai tempat yang dibangun oleh pemerintah kota ini. Tempat dengan halaman yang dihias sedemikian rupa ditambah lagi adanya rumput sintetis menjadikan suasananya semakin indah. Namun, saya juga cukup kesal dengan orang-orang yang masih belum bisa merawat kebersihan. Sampah-sampah masih sering saya temukan dan berserakan pula. Duh, sangat tidak beruntung taman kota ini. 


Ada satu orang yang membuat saya menjadi alasan kenapa sering pergi ke taman kota. Ya, itu tentang wanita cantik. Wanita bernama Amira yang sering duduk sendirian di kursi taman kota. 


Setiap hari, saya memantaunya. Tampak wajahnya bingung. Tampak wajahnya sedih. Uh, saya tak memiliki nyali untuk mendekatinya. Bahkan, untuk menyapanya pun saya tak mampu! Sungguh dan sungguh ini menjadikan saya seperti orang bodoh. 


Sesaat mata mulai memperhatikan Amira dari kejauhan, saya dikagetkan oleh seorang lelaki tua. Dia menepuk pundak saya sambil memanggil nama. Rasanya saya tak asing lagi mendengar suara lelaki tua itu yang menerobos masuk ke telinga. Saya pun memalingkan wajah dan kedua bulat mata menyapu anggota tubuh lelaki tua itu. Uh, benar juga perkiraan saya bahwa lelaki itu lelaki yang setiap hari bertemu saya. Dia bernama Kakek Samad yang rambutnya sudah berwarna perak, sedangkan kakinya masih terlihat kuat untuk berjalan. Saya hanya tersenyum ketika memandangnya. Namun, lelaki tua itu malah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat saya. 


"Ngapain malam-malam di sini?" tanya Kakek Samad, lalu dia duduk di sebelah saya. 


"Cari angin saja, Kek," jawab saya, "terus ngapain Kakek ke sini?" tambah saya balik tanya. 


"Kakek itu mencari anak lelaki yang hilang di rumahnya," jawab Kakek Samad datar. 


Duh, saya merasa tersindir dengan jawabannya. Lagi dan lagi, saya hanya bisa tersenyum. Kemudian, memalingkan wajah lagi untuk memastikan Amira masih duduk atau tidak di kursi dekat kolam air mancur itu. Saya masih melihatnya dari kejauhan sambil sembunyi-sembunyi agar tak terciduk oleh kedua bulat matanya. Untung saja, taman di kota saya ini luas sehingga mendukung sekali untuk memantau Amira dari kejauhan. 


Lelaki tua itu mengerutkan dahinya, dia seperti kebingungan ketika melihat gerak-gerik saya yang berdiri di dekatnya. Kemudian, mengintip Amira dari celah-celah daun pohon yang tertanam di taman kota. Orang-orang pun mulai pergi satu per satu dari taman kota. Ya, mungkin mereka pun mau istirahat dan pulang ke rumahnya masing-masing. Mata Kakek Samad pun menyapu taman kota ini, sedangkan saya masih asyik melihat Amira yang masih duduk sambil memegang buku. 


"A ...!" panggil Kakek Samad, saya memalingkan wajah. "Pulang, yuk!" tambahnya mengajak saya. 


"Pulang?" 


"Ya, pulang! Sekarang, udah malam, A. Kita harus istirahat!" 


Mendengar kata malam, saya pun langsung melihat jam yang menempel di tangan dan waktu masih menunjukan pukul 21.24. inikah yang disebutkan malam menurut Kakek Samad? Saya bertanya-tanya dari dalam hati. Bukankah dari tadi sewaktu awal saya pergi ke taman kota pun sudah menunjukan waktu malam? Sungguh, saya tak mengindahkan ajakan Kakek Samad untuk pulang dan bisa istirahat cepat. Jujur saja, saya khawatir kalau meninggalkan Amira malam-malam sendirian di sana tanpa ada penjaga untuknya. Setidaknya, saya berdiri dan memantau dari kejauhan bisa menjadi penjaga di kala kalau ada yang mau menyakiti dia. 


Memang sangat memang, hati saya selalu berbicara kepada semua anggota tubuh ini agar diam sampai Amira memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Wanita Cantik, kenapa kamu seperti itu? Hati saya bertanya-tanya lagi. Saya melihatnya sungguh sangat sedih di mana wanita yang berparas cantik malah seperti kebingungan untuk menjalani hidup. Dia masih terlihat sering melamun dan wajahnya pun tampak suram.


Sekitar pukul sepuluhan, saya melihat Amira berdiri dan mengayunkan kakinya menuju keluar taman kota. Saya masih memantaunya sambil mengikuti ayunan kakinya dari belakang, sedangkan Kakek Samad sudah memutuskan pulang dari tadi. Saya sendiri mengikuti Amira dari belakang dan masih istiqomah sambil sembunyi-sembunyi. 


***


Setelah olahraga pagi, saya duduk di kursi beranda rumah sambil menyeruput secangkir susu ditemani roti tawar dan tak lupa Lagu Cinta dari Iwan Fals mengalun merdu masuk ke telinga. Cukup indah, kata saya. Sesekali kepala pun digoyang-goyangkan, sedangkan tangan kanan memegang selembar roti tawar. 


Entah mengapa? Pagi ini, saya mengingat terus kejadian semalam yang tak bisa apa-apa untuk mendekati Amira. Sampai-sampai, saya melihat wanita cantik itu pun harus sembunyi-sembunyi. Di manakah letak kejantanan ini kalau mendekati wanita saja tak mampu? Sungguh, saya menjadi malu terhadap diri sendiri kalau seperti itu terus. Kakek Samad mendekati saya, dia berpakaian sangat segar di pagi hari ini. Namun, cukup sangat disayangkan rambutnya sudah berubah menjadi perak dan giginya sudah banyak yang ompong. Saya sendiri cukup bangga dengan semangat dia hidup sehingga bisa menjadi contoh bagi orang yang melihatnya. Dia tampak tak mudah mengeluh; tampak tak mudah marah; tampak selalu menyayangi keluarganya. Itulah yang bisa saya ambil dari kehidupannya. 


Setelah berpikir panjang, saya memutuskan masuk ke dalam rumah dan mendekati cermin yang menempel di tembok. Alhasil, saya memutuskan untuk belajar berbicara dan menyiapkan diri agar punya mental untuk mendekati Amira. Kata per kata saya bangun menjadi kalimat-kalimat yang disiapkan untuk Amira. Namun, saya cukup paham berhadapan dengan orangnya langsung tak semudah dengan berhadapan dengan wujud diri sendiri di dalam cermin. Itulah yang menjadi tantangan untuk saya agar bisa ditaklukkan. 


"Hai," kata saya menatap cermin, "Amira, apa kabar?" tambah saya masih menatap cermin. 


Kata-kata itu sungguh mudah diucapkan di hadapan cermin yang sudah retak bagian ujungnya. Namun, di sekitaran cermin itu tak ada lagi orang selain saya. Mana mungkin nantinya pas waktunya tiba—malam di taman kota—apakah saya akan mampu mengucapkan kata-kata seperti itu?


Malam sudah tiba, saya pun sudah siap dengan memakai pakaian yang indah dan wangi. Mental yang ditempa dari pagi pun rasanya sudah siap berhadapan dengan Amira. Kata-kata yang disiapkan untuk Amira pun sudah berkeliaran di pikiran dan ingin segera dikeluarkan. Kakek Samad yang melihat saya berpakaian rapi pun tampak bertanya-tanya. Namun, lelaki tua itu hanya melihat saya dari jarak sekitar lima meter. Ah, saya pun tak memedulikannya karena yang penting itu bisa segera ke taman kota dan bertemu Amira. 


Taman kota, cukup ramai oleh orang-orang yang berfoto-foto. Mungkin, mereka ingin mendokumentasikan kenangannya tentang taman kota ini. Dan menurut saya, itu hal yang bagus. Orang-orang banyak dari kalangan anak muda dan ada juga yang bergandengan tangan seperti sedang berpacaran. Namun, berbanding terbalik dengan saya yang hanya sendirian dan berharap ada wanita cantik yang duduk seperti biasanya di dekat kolam air pancuran. Sungguh dan sungguh disayangkan wanita yang diharapkan oleh saya belum ada di taman kota. Akhirnya, terpaksa saya harus menunggu sambil melihat orang yang berfoto-foto di dekat patung kuda. 


Setelah menunggu sekitar 38 menit, dari kejauhan saya melihat Amira yang sedang berjalan menuju tempat dia sering menyendiri. Saya cukup bahagia bahwa wanita yang ditunggu-tunggu pun terlihat juga. Saya langsung merapikan kemeja yang dipakai. Kemudian, berjalan untuk mencoba mendekati Amira. Dada saya semakin naik turun, sedangkan hati sudah tak karuan. Saya khawatir kalau sudah sampai berada di hadapan wanita cantik itu malah ending-nya akan diusir. Namun, apa salahnya mencoba dan siap untuk menanggung risiko yang akan terjadi. 


Setelah berada persis di hadapan Amira, tangan saya tiba-tiba dingin dan mulut pun kaku untuk memulai obrolan. Ah, inikah yang dinamakan tak punya mental di dekat wanita? Mungkin bisa seperti itu. Untung saja, wanita cantik itu memulai ucapan (bertanya) terlebih dengan tampak aneh menatap saya. Tambah dag-dig-dug saja ketika Amira menatap saya sehingga diri ini menjadi salah tingkah. 


"A-mi-ra ...!" Saya paksa mulut ini untuk memanggil wanita cantik itu. 


Ekspresi yang terlihat dari wajah Amira biasa saja. Dia tak menampakkan senyum manisnya ataupun kebahagiaannya. Kemudian, wanita cantik itu menjawab, "Iya." 


Sesimpel itukah jawabannya yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepala. Dia malah semakin cuek saja kepada saya. Dan saya pun serasa tak dianggap ada di hadapannya. Apakah sifat wanita seperti itu? Cuek? Menjawab seperlunya? Ah, mana mungkin saya yang dari pagi mempersiapkan mental akan menyerah begitu saja. Hal semacam itu akan menjadi kebodohan bagi saya kalau semisalnya terjadi. 


Saya pun menarik napas lalu mengembuskan kembali. Amira duduk di kursi yang biasa dia menyendiri, sedangkan saya masih berdiri di dekatnya. Wanita cantik itu mulai membuka buku yang dipegangnya. Terlihat buku yang dipegangnya itu buku karya Eka Kurniawan berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Saya coba duduk di sampingnya dan bertanya, "Ada apa dengan buku itu?" 


"Bagus," jawabnya tanpa menoleh ke hadapan saya. 


Masih satu kata yang dia ucapkan untuk saya. Terlalu! 


"Kenapa terlihat sedih dan sering menyendiri di sini?" tanya saya dengan hati-hati.


Amira mulai melihat ke wajah saya. Tatapannya terlihat benci sekali kepada saya. Dan saya pun mengerutkan dahi dan menatapnya balik. Kemudian, bertanya, "Ada apa?" 


"Kamu, jangan pura-pura nggak tahu, lah. Jangan pura-pura menutup mata, lah. Jangan pura-pura kuat, lah. Jangan pura-pura lupa, lah." Amira berkata sambil menunjuk wajah saya. 


"Terus?" 


"Kamu, yang menjadikan aku seperti ini. Kamu, yang memutuskan hubungan kita. Kamu, yang lemah dan tak bisa memperjuangkan cinta kita. Aku sedih. Aku bingung. Aku marah! Kenapa ini bisa terjadi kepadaku? Kenapa?" 


"Maaf! Maaf karena aku tak bisa apa-apa di hadapan orang tuamu. Apakah kamu ingat? Ada benarnya kata orang tuamu itu, setiap orang tua ingin anaknya bahagia dan tak ingin melihat anaknya kesusahan. Aku lemah karena kita beda! Kamu, emas yang hidupnya selalu dijaga; disimpan; disayang-sayang; mahal, sedangkan aku tembaga. Mana mungkin tembaga dan emas akan bisa menyatu. Aku lemah.


Kamu, juga harus tahu! Sebenarnya, aku juga sakit harus seperti ini itu. Kamu, juga harus tahu! Aku selalu memantau dirimu dari kejauhan. Aku selalu melihat kamu sendirian di taman ini. Sampai-sampai, aku menunggunya sampai kamu pulang dari taman kota ini. Aku hanya bisa memantau dirimu dari kejauhan." 


"Kalau seperti itu, kenapa nggak berjuang di hadapan orang tuaku untuk mendapatkan diriku?" 


Saya tak bisa berkata-kata. 


"Kenapa diam?" Amira mendorong pundak saya. 


"Aku tak ingin ditalipak. Orang tuamu itu juga ada benarnya. Ingat! Restu itu ada di orang tua. Mana mungkin kita memaksakan cinta yang tak punya restu?" 


"Tapi, aku mencintaimu!" Tangan kanan Amira mengusap air mata yang membasahi wajahnya. 


Saya memandangnya lalu air mata pun mulai turun juga membasahi wajah. Hati saya semakin tak karuan.


"Do-a-kan a-ku, ya!" kata saya sambil memegang tangan Amira, "doakeun! Semoga aku bisa menjadi emas seperti dirimu agar bisa berjuang di depan orang tuamu. Kamu, harus sabar dan jangan bersedih lagi, ya!"[]


2021


Baca Juga:

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN