Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

Sepak Bola dan Larangan

Sepak Bola


Anak itu masih melamun di pinggir lapangan sepak bola Desa Cikijing. Ia tak bisa mengikuti pertandingan karena tak punya sepatu sepak bola. Ia menangis. Ia sakit hati karena nasibnya tak seperti anak-anak lain yang bisa berdansa; bermain dengan bola di lapangan. Anak kecil itu bernama Faisal, anak yang berbakat bermain bola, tetapi tak didukung dengan peralatannya. 

Mang Asep, mencoba untuk mendekatinya dan menanyakan apa yang sedang ia tangisi. Namun, mulut Faisal tak mampu untuk mengungkapkan apa yang sedang ia pikirkan. Lapangan sepak bola menjadi tempat untuk Faisal bisa membayangkan ia bisa bermain; berdansa layaknya profesional; bermain orkestra bersama bola di kakinya sehingga bisa menghibur orang lain.

Anak itu berlari menuju rumahnya dengan air mata masih membasahi wajah. Kadang tangannya mengusap air mata itu. Ia tak kuasa untuk menahan rasa sakit di pinggir lapangan ketika melihat orang bermain bola. Ia juga ingin seperti orang-orang lain itu. Bermain. Ia pun Lari dengan kecepatan penuh yang mampu dilakukannya. Faisal tak memedulikan orang-orang yang melihatnya berlari. Ia tak memedulikannya sama sekali. Sampai di rumahnya, anak itu langsung menangis dengan sekuat tenaga sampai ibunya khawatir dan langsung mendekati Faisal. 

"Nak, ada apa?" tanya ibunya di hadapan Faisal. 

Anak itu semakin menangis dan mungkin saja sampai kedengaran ke luar rumah. 

Esih, ibu dari anak itu langsung memeluknya. Wanita yang umurnya sekitaran 35 tahun itu tak bisa memprediksi persoalan apa yang mengakibatkan anaknya menangis. 

"Ada apa, Nak? Coba cerita sama Ibu!" 

"Aku ingin sepatu sepak bola, Bu!" Akhirnya, Faisal bisa mengeluarkan suaranya. 

"Sepatu?" tanya Esih terheran karena tak ada angin, hujan, dan badai, anaknya menginginkan sesuatu. 

"Iya. Sepatu yang seperti dipakai Taslim, Bu!" Tangan kanan Faisal mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Kemudian, ia memeluk ibunya. 

"Emang sepatu yang dipakai Taslim model gimana, Nak?" 

"Itu yang ada pelat merah di sisinya." Anak berusia sepuluh tahun itu menjawab lagi. 

 "Iya. Ntar, Ibu bilangin sama Bapak, ya!" 

Esih sangat paham apa yang diinginkan oleh anaknya itu. Ia juga merasakan bahwa sepatu sepak bola itu salah satu benda yang diinginkan anaknya sudah sejak lama. Namun, membeli sepatu bola itu mahal, sedangkan uang untuk kebutuhan sehari-hari pun pas-pasan. Bahkan, kadang juga kekurangan yang menjadikan keluarganya harus makan dengan seadanya; singkong rebus hasil dari kebun milik mertuanya. 

Suara tangisan anaknya sudah tak terdengar. Esih berpikir, bagaimana mendapatkan sepatu sepak bola yang diimpikan anaknya itu. Apa harus meminjam uang? Tanyanya dalam hati. Ia tak bisa melihat anaknya sedih di kala melihat teman-temannya bermain bola, sedangkan Faisal tidak. Ia tak mau, sungguh. Wanita itu berdiri lalu berjalan ke sana-sini seperti setrikaan yang sedang dipakai. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk kepala dan sesekali ia melihat ke luar rumah dari jendela kaca. Ia berharap, siapa tahu suaminya sudah pulang dan berada di beranda rumah. 


*


"Kang!" panggil Esih kepada suaminya yang sedang sarapan nasi goreng. 

"Hmmm." Kang Jaka melirik Esih.

"Kang, Faisal minta dibeliin sepatu bola!" Esih duduk di samping Kang Jaka. 

"Sepatu?" Kang Jaka menghentikan makannya. 

"Iya. Sepatu bola!" 

"Tidak! Akang tak akan membelikan sepatu bola untuk Faisal!" tegas Kang Jaka, kedua bulat matanya melotot tajam, sedangkan Esih langsung menunduk. 

"Nggak akan membelikan?" tanya Esih pelan. 

"Iya. Akang tak ingin nasib anak kita sama seperti anaknya Mang Jono yang meninggal karena sedang bermain bola. Akang tak mau hal itu terjadi kepada anak kita. Akang tak mau itu!" Kang Jaka langsung meninggalkan Esih sendirian di tempat. 

Wanita itu tak bisa membayangkan kesedihan anaknya kalau semua perkataan Kang Jaka terdengar oleh Faisal. Mungkin, Faisal akan merasakan kesedihan yang mendalam karena salah satu keinginannya tak diindahkan oleh bapaknya. Esih berdiri dan langsung membereskan piring-piring yang kotor lalu ia cuci dengan bersih. Tak disangka ucapan suaminya itu sungguh membuat dirinya kecewa karena Kang Jaka tak mau membelikan sepatu untuk anaknya. Air mata pun tiba-tiba jatuh membasahi wajah, hatinya pun sangat kacau. 

Seperti biasa, Kang Jaka bekerja menjadi sopir elf antarkota. Dan hasilnya pun selalu lumayan bisa menghidupi keluarga tercintanya. Namun, ia selalu melarang kalau anaknya ingin bermain sepak bola. Ia selalu mempunyai alasan untuk melarangnya, karena inilah, karena itulah, dan karena-karena yang lainnya. Esih pun merasa gemas kepada suaminya itu karena ia merasa anaknya selalu dilarang untuk berolahraga. Bukannya olahraga itu bagus untuk kesehatan? Pikirannya selalu bertanya-tanya. Namun, entahlah wanita itu tak bisa melawan larangan Kang Jaka untuk Faisal. 


*


Hari Senin, hari di mana Porseni tingkat sekolah dasar akan dilakukan dan salah satu cabang olahraga yang diperlombakan, yaitu sepak bola. Faisal menjadi salah satu pemain terbaik yang kurang beruntung. Ia harus bisa legowo karena tak mempunyai sepatu bola untuk mengikuti ajang seperti itu. Namun, guru penjas di sekolahnya tiba-tiba menghampiri anak itu yang sedang duduk di taman, sambil melihat teman-temannya melakukan pemanasan di halaman sekolah. 

"Kenapa nggak gabung?" Tiba-tiba saja anak itu mendengar suara dari belakang tubuhnya. 

Anak itu memalingkan tubuhnya, ia melihat Pak Gunawan—guru penjas—berada di depannya. Kemudian, anak itu hanya tersenyum. 

"Kenapa tersenyum?"–Pak Gunawan merangkul Faisal–"bapak punya hadiah buat, kamu!" 

"Hadiah?" 

"Iya, hadiah. Ayo, ikut bapak ke kantor!" 

Sesampainya di kantor, Pak Gunawan memberikan Faisal sepasang sepatu bola yang sudah diimpikan sejak lama. Ia pun terlihat bahagia. Dan Pak Gunawan pun berkata, coba dulu siapa tahu kekecilan. Faisal hanya mengikuti semua perintah guru penjasnya itu. Di kantor pun terlihat banyak guru-guru yang sedang istirahat dan melihat ke arah Faisal. Anak itu tiba-tiba malu ketika seorang guru agama bilang, sepatunya bagus banget. Sampai-sampai, ia merasakan grogi pada saat memasukan kakinya ke sepatu bola hasil pemberian Pak Gunawan. 

"Jadi, sekarang, kamu, akan bapak masukkan ke dalam tim sepak bola yang ikut Porseni!" 

"Jadi, aku masuk tim, Pak. Asyik." Wajah Faisal memancarkan kebahagiaan. 

"Namun, kamu, harus bisa membawa tim kita itu juara satu!" 

Faisal tak bisa berkata-kata, ia seperti patung yang menempel di tembok. 

"Tenang saja!"–Pak Gunawan tertawa sambil ngacak-ngacak rambut Faisal–"itu hanya bercanda." 


*


Terlihat Faisal bermain bola dan ia sangat menikmati permainannya. Ia bergoyang samba, menggocek satu per satu lawan yang membuat takjub para penonton. Banyak orang yang mengelu-elukan anak itu karena permainannya yang sangat menawan. Dan banyak juga yang bilang, anak itu anak berbakat. Pertandingan final Porseni pun cukup indah untuk ditonton. Kedua tim saling serang dan adu strategi. 

Esih yang mendengar desas-desus warga yang membicarakan anaknya itu pun langsung pergi ke lapangan. Wanita itu sampai-sampai meninggalkan pakaiannya yang harus dijemur di tali tambang. Ia berlari sampai napasnya ngos-ngosan ketika sampai di lapangan. Kedua bola matanya mulai menyapu seluruh isi lapangan. Dan akhirnya, wanita itu melihat anaknya berdansa; bermain dengan bola di lapangan seperti yang sering dikatakan oleh Faisal bahwa ia ingin bermain di Theater of Dream. "Nak, itu sepatu siapa? Impianmu mulai tercapai, Nak," kata Esih sambil mengusap air mata yang tak tahan untuk dibendung. 

Momen yang paling indah pun muncul juga ketika Faisal menjebol jala gawang lawan. Semua penonton bersorak-sorai, Esih tak bisa menyembunyikan kebahagiaan sekaligus terharu melihat perjuangan Faisal. Mana mungkin anak yang selalu dilarang, tetapi ia mempunyai bakat alami bermain bola? Ia selalu ingat ketika bapaknya pergi bekerja, Faisal selalu mencuri-curi waktu untuk bermain bola tanpa alas kaki. Memakai bola plastik yang sudah meletus dan kalau ditendang keras-keras pun akan penyok. Wanita itu selalu mengingat perjuangan Faisal sampai ia jago bermain bola. 

"Itu gol yang indah!" kata seorang lelaki yang berada di samping Esih. 

Esih mendengar semua perkataan yang dilemparkan oleh orang-orang di sampingnya. Memang, sangat indah tendangan bebas yang dilakukan oleh Faisal. Ia melakukan kuda-kuda seperti Juninho dan langsung menendang bola sampai menghujam jala gawang lawan. Faisal pun berlari ke pinggir lapangan sambil melakukan selebrasi. Sampai-sampai, sang komentator yang terdengar dari toa terkejut melihat tendangan Faisal. 


*


Sehari setelah kejuaraan Porseni, sekolah dasar yang dibela oleh Faisal menjadi trending topik karena juara satu. Entah, karena apa? Jarang-jarang banget atau tak pernah sekali pun kejuaraan Porseni dimasukkan ke koran. Namun, sangat berbeda dengan hari ini. Korang Kota menampilkan berita utama tentang Anak Ajaib dari Bapak Sopir itu menjadi berita yang letaknya di halaman awal.  

Kang Jaka, hari ini juga membeli Koran Kota dari anak yang berjualan di lampu merah pun sangat tertarik dengan judul utama koran itu. Ia coba memperhatikan dan membacanya dengan pelan-pelan. Sampai-sampai, ia tak menyangka ketika membaca nama anaknya tertera di isi judul itu. Dadanya semakin naik turun, ia coba lagi membaca dari awal dan hasilnya pun sama. Nama yang tertera di isi judul itu memang nama anaknya. Dan koran itu menyebutkan bahwa anaknya itu berhasil membawa timnya menjuarai kejuaraan sepak bola. Lelaki yang umurnya sekitaran 37 tahun itu pun tampak tak menyangka bahwa anaknya bisa membahagiakan keluarga. 

Kang Jaka, keluar dari mobil sambil menggulungkan koran yang baru saja ia baca. Kemudian, ia meminta tolong kepada temannya untuk menunggui mobilnya sebentar. Lelaki itu tanpa berpikir panjang lagi untuk naik ojek pulang ke rumah. Dalam perjalanannya, ia cukup bersalah karena sudah sering melarang anaknya bermain bola. Dan ia pun tak mengetahui bahwa anaknya mempunyai bakat alami bermain bola. Ia pun sangat bersalah kepada istrinya karena tak mengindahkan keinginan anaknya mempunyai sepatu bola. Tiba-tiba saja, air matanya jatuh membasahi wajah. 

Sesampai di rumah, Kang Jaka langsung berlari masuk ke dalan rumah. Dan tukang ojek pun melongo melihat tingkah Kang Jaka, tetapi untung saja lelaki itu sudah membayar ongkosnya dari awal. Kang Jaka berteriak-teriak memanggil Faisal, sedangkan anak itu merasa ketakutan dan langsung berlari ke ibunya yang berada di dapur. Kemudian, Faisal memeluk ibunya dengan erat. Kang Jaka masih berteriak-teriak hingga kedengaran sampai dapur. 

"Tenang, Nak! Di sini ada Ibu." 

Esih mengira bahwa suaminya akan memarahi Faisal karena suara teriakannya begitu keras. 

"Eh, ternyata kalian ada di sini," kata Kang Jaka di hadapan istri dan anaknya.

"Kenapa harus teriak-teriak, sih?" tanya Esih. 

"Nak, sini Bapak mau bilang!" 

Faisal diam saja dan ia semakin erat memeluk ibunya. 

"Sini, Nak! Bapak nggak akan marah, kok." 

Esih memandang Faisal lalu ia mengangguk. Faisal pun mulai berjalan ke arah bapaknya. 

Sesampai di hadapan bapaknya, Faisal langsung digendong dan Kang Jaka pun meminta maaf karena sudah melarang hobi yang anaknya sukai. Esih pun mengerutkan dahi, ia tampak bertanya-tanya karena sifat suaminya sangat berbeda dengan biasanya. Kang Jaka bilang: 

"Bapak sudah salah menilai tentang sepak bola. Bapak sudah salah menilai hobimu itu. Sekarang, Bapak akan mendukung hobimu itu bermain bola, Nak!" 

"Beneran, Pak?" 

"Iya, beneran. Bapak akan dukung dan membelikan sepatu bola yang bagus untuk, Faisal." 

"Hore .... Bu, aku mau dibelikan sepatu bola yang bagus oleh Bapak. Horee ... horee ...." Wajah Faisal pun memancarkan kebahagiaan. 

Esih melihat dan mendengar itu semua; saat suaminya menggendong Faisal; saat suaminya meminta maaf; saat suaminya berjanji akan membelikan sepatu sepak bola untuk anaknya. Ia pun terharu melihat dan mendengar itu semua. Memang kegigihan dari hasil kerja keras tak akan membohongi hasilnya. Buktinya, Faisal yang selalu mencuri-curi waktu untuk main petak umpet bersama bapaknya dan akhirnya hati keras Kang Jaka bisa lunak juga oleh perjuangan anaknya. Ia terharu dan lagi-lagi air matanya tak bisa ditahan sambil berkata, "Terima kasih, Kang."[]


2021

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Mari Berkenalan dengan Gurita Teleskop, Penghuni Laut Dalam!

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca