Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

MANUSIA TANPA HATI


Oleh: Al Ansor Abdul Rahman

Seorang lelaki duduk termenung di teras rumahnya, ia bagaikan orang sakit yang tak berdarah. Kedua bulat matanya tampak kosong menatap ke depan. Pohon cengkih yang ada di hadapan lelaki itu tampak malu-malu dan ingin sekali lari terbirit-birit untuk berpindah tempat. Namun, itu hanya keinginan yang tak bisa diindahkan. Pohon cengkih itu harus menahan rasa malunya dan daun-daunya yang sedang bergoyang pun menjadi sangat kaku. 

Orang-orang yang berada di Blok Jumat itu sering memanggil lelaki itu dengan sebutan Kang Asep. Mereka tak asal memberi nama panggilan saja, tetapi memang pas sekali dengan wajahnya yang 'kasep' atau kalau dalam bahasa Indonesia itu ganteng. Memang sangat memang, lelaki itu bagaikan raja yang selalu diinginkan oleh para wanita Blok Jumat. 

Namun, Kang Asep selalu menolak kalau ada seorang wanita Blok Jumat yang ingin mendekatinya. Ia seperti tak nafsu untuk memiliki wanita yang se-lokasi dengannya. Entahlah, para warga pun selalu membicarakan hal-hal aneh yang ditujukan kepada lelaki itu. Katanya, lelaki muda itu tak suka wanita. Dan banyak lagi kata-kata yang sering dikeluarkan dari mulut warga untuk Kang Asep itu. Namun, sangat untung Kang Asep tak pernah mendengar omongan langsung dari warga-warga yang ditujukan kepadanya. Jadi, ia tak pernah mempermasalahkan hal yang menurutnya sepele dan tak penting itu. 

Sudah seminggu, ia selalu termenung. Para warga pun sangat aneh melihatnya. Mana mungkin yang biasanya terlihat ceria dan tak suka termenung. Sekarang itu, malah sebaliknya. Dadang, salah satu warga yang selalu lewat depan rumahnya pun selalu bertanya-tanya. Sampai-sampai, ia sendiri mencari tahu dan menanyakan hal tersebut kepada warga lain. Namun, Dadang pun tak pernah mendapatkan jawaban tentang Kang Asep yang selalu termenung itu. 

Bibi Ana melihat Kang Asep yang sedang termenung itu pun menggelengkan kepalanya. Ia sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi kepada keponakannya itu. Malah-malah, keponakannya itu pun jarang bicara. Dan setiap diajak bicara pun Kang Asep selalu menghindar. Entahlah, Bibi Ana hanya bisa melihat dari kejauhan dan memantau keponakannya itu agar tak melakukan hal yang di luar nalar.

Pukul sembilan pagi, sinar matahari menyorot tubuh Kang Asep yang berada di beranda rumahnya. Bibi Ana masih di dalam rumah sambil memantau keponakannya itu dari balik jendela. Matahari itu begitu cerah dan sinarnya pun memantul juga ke keramik warna putih beranda rumah. Bibi Ana mulai merasakan keanehan kepada gerak-gerik yang sedang dilakukan oleh Kang Asep. Ia dari kejauhan melihat tangan kanan keponakannya itu sedang mengorek-ngorek bagian atas rongga perutnya. Wanita berumur tiga puluh tahun itu semakin penasaran ketika melihat lagi kedua bola mata Kang Asep yang seperti sedang merem melek menahan rasa sakit. 

Pada saat melihat itu, Bibi Ana langsung mengambil penutup kepala lalu buru-buru untuk menuju Kang Asep. Astaga, kata Bibi Ana, ia kaget ketika melihat keponakannya itu sedang mengorek-ngorek untuk mengambil salah satu organ tubuhnya. Bibi Ana menjerit histeris, ia ketakutan atas apa yang dilakukan oleh keponakannya itu. Bahkan, pohon cengkih pun tutup mata ketika mengetahui lelaki yang ada di hadapannya itu sedang mengambil hati. Daun-daunnya pun menjadi bergetar ketakutan saat Kang Asep melakukan aksinya itu.

"Asep!!!" teriak Bibi Ana yang hampir saja merobek gendang pendengar keponakannya itu. 

Kang Asep memalingkan wajahnya, matanya menatap tajam Bibi Ana. Kemudian, dahinya mengkerut. Wanita yang ada di hadapan Kang Asep itu tiba-tiba merasa tubuhnya menjadi dingin. Sampai-sampai, tak bisa bergerak seperti patung. 

"Hmmm." Kang Asep mengeluarkan suaranya. 

"I ... itu ke-na-pa?" tanya Bibi Ana. Kemudian, Bibi Ana mencoba terus untuk bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Ia pun memaksanya sampai rasa dingin itu hilang sedikit-sedikit.

"Ini mau aku keluarkan, Bi," jawab Kang Asep dengan santainya. Tangannya sudah masuk ke dalam rongga bagian atas perutnya.

"Jangan coba-coba, kamu! Hentikan!" bentak Bibi Ana. Sekarang, ia sudah bisa menggerakkan kembali tubuhnya dengan bantuan angin.

"Tenang saja, Bi!"–Bibi Ana memaksa tangan kanan keponakannya itu untuk dikeluarkan–"diam, Bi!" bentak Kang Asep, tangan kirinya mendorong tubuh Bibi Ana. Kemudian, tubuh wanita tiga puluh tahun itu roboh. 

Tangan kanan Kang Asep semakin masuk ke dalam tubuhnya. Telapak tangannya sudah memegang hatinya, kedua bulat matanya merem melek. Ia berteriak sampai urat-urat di lehernya menonjol. Hati yang masih menempel di dalam tubuhnya itu ia tarik keluar dengan sekuat tenaga. Dan rintihan kesakitan pun keluar dari mulutnya sampai langit pun berubah warna menjadi merah. Darah mengalir membasahi perut lalu terjun ke lantai beranda rumah. Pohon cengkih yang melihat itu pun tak kuasa lagi menahan rasa takut, daun-daunya pun mulai berjatuhan lalu lari terbirit-birit. Bibi Ana menatap dengan tatapan kosong, bengong dengan siaran langsung yang ia lihat dari keponakannya itu. Kemudian, setelah empat puluhan detik, wanita tiga puluh tahun itu tak sadarkan diri; pingsan.

Hati yang berada di dalam tubuh Kang Asep itu benar-benar sudah keluar. Sangat kotor. Ada cacing-cacing yang menempel di hatinya dan baunya pun sangat tak enak untuk dicium. Lelaki berambut gondrong itu menatap tajam kepada hati miliknya. Ia tersenyum, seakan-akan sangat puas sudah bisa memaksa keluar hatinya. Area tempat duduknya pun sudah dipenuhi darah. Ia tersenyum lagi lalu tertawa sangat puas. Pohon cengkih makin ketakutan lalu menciut sampai tak kelihatan.

Seorang lelaki itu berdiri lalu hatinya pun dibungkus dengan kaos yang sedari tadi sudah terlepas. Tak ada seorang pun yang lewat depan rumah Kang Asep. Warga sekitar pun entah sedang pada ke mana. Bibi Ana masih tergolek pingsan di beranda rumah. Kang Asep mengayunkan kakinya menuju dalam rumah. Darah-darah masih keluar dari atas rongga perut kanannya. Bahkan, organ-organ tubuh yang lainnya pun mudah untuk dilihat dengan mata telanjang. Ia berjalan dengan santainya dan tak ada penyesalan oleh perbuatan yang telah dilakukan. 

Sesampainya di dalam rumah, ia langsung melanjutkan perjalanan menuju dapur dengan darah yang menetes-netes mengikuti perjalanannya. Ia sendiri langsung mengambil baskom yang ada di rak dapur, terus hatinya pun disimpan di dalamnya untuk dicuci hingga bersih. Keringat yang keluar dari kepalanya pun membasahi dahinya, sedangkan tubuhnya masih bau darah anyir.

Sebelum membersihkan hatinya, ia tak lupa juga mencuci kedua tangannya dulu lalu membasuh wajahnya. Dan juga memakai kaos bola kesukaannya walaupun darah itu masih keluar dari atas rongga perutnya. Namun, ia tutupi lubang bolongnya dengan kertas ditambah plastik lalu dilem sampai menempel dan merata. 

Ia tampak semangat untuk bisa membersihkan hatinya dengan kedua tangan ditambah sabun pencucian piring yang ada di depan wastafel. Sambil bernyanyi-nyanyi ia membuka keran pancuran air lalu baskom yang berisi hati itu diletakan di bawahnya. Air pun mengisi dalam baskom hingga penuh. Tangan kanan yang sedari tadi mengguling-gulingkan hati pun mengambil spons dan sabun. Kang Asep mengambil hatinya lagi yang sedari tadi berenang terus di baskom. Kemudian, ia bersihkan menggunakan spons yang sudah diberi sabun. Dan tak lupa juga cacing-cacing yang menempel di hatinya pun dicabut satu per satu sampai semuanya hilang. Banyak bintik-bintik hitam di hatinya. Ada juga gambar wanita di hatinya. Semua yang ada di hatinya itu dibersihkan oleh Kang Asep sampai bersih. 

Beres juga membersihkan hati, kata Kang Asep, ia merasakan tak punya beban lagi dalam hidupnya. Murung pun tak tampak lagi di hidupnya. Setelah hatinya bersih, ia berjalan mengambil kotak yang terbuat dari kaca dan bergembok. Kotak itu berukuran dua puluh kali dua puluh sentimeter, di dalamnya sangat bersih, dan kuncinya terbuat dari emas. Ia mengelap hatinya menggunakan tisu yang ada di dapur sampai kering. Kemudian, lelaki bertubuh jangkung itu memasukan hatinya ke dalam kotak kaca dan tak lupa juga digembok. Setelahnya, ia simpan kotak kaca itu di lemari es dan kunci emasnya dimasukan ke dalam perut lewat pipa tenggorokan lelaki itu. 

***

Sebulan kemudian, Kang Asep bisa semangat kembali dalam menjalani kehidupan. Ia bagaikan anak kecil yang baru lahir kembali. Semua pekerjaan yang selama termenung itu tertunda, akhirnya dibabat habis sampai selesai. Bibi Ana pun mulai tak merasa kasihan lagi kepada ponakannya itu. Wanita yang sering memakai penutup kepala itu bisa fokus kembali untuk mengurus Aneta—putrinya yang baru berusia lima tahun. 

Kang Asep sedang duduk di rumah makan Padang. Ia menunggu pesanannya jadi bersama seorang wanita cantik berwajah oriental. Wanita itu duduk di kursi depannya yang mengakibatkan kedua bola mata mereka saling beradu. Kadang wanita itu menunduk malu dan hatinya pun menjadi tak karuan ketika dipandang oleh Kang Asep. 

Setelah menunggu lima belas menit, pesanan pun jadi. Seperti hari-hari biasanya, lelaki itu memesan rendang dan es teh manis. Sungguh sangat sederhana sekali, kata wanita itu dalam hati. Riska, ya, wanita itu namanya Riska. Wanita yang selalu menjadi banyak perbincangan di area kantor karena mempunyai paras yang cantik. Bahkan, seorang direktur yang sering disebut oleh Kang Asep itu direktur murtad pun sering menggoda Riska. Namun, wanita itu tak merasakan ada rasa untuk seorang direktur itu. Oleh karena itu, ia sering mengacuhkannya sampai suatu hari, wanita itu datang ke hadapan Kang Asep untuk mengeluh atas keinginannya keluar dari kantor tempatnya bekerja. Namun, Kang Asep memberikan pandangan lain bahwa ia harus bisa melawan apa yang selalu datang kepadanya. Akhirnya, Riska bisa mengerti dan bertahan di kantornya dan tak lupa juga ia jadi sering berjalan bersama Kang Asep. 

"Kenapa makan di sini, Kang?" tanya Riska, lelaki itu tak menjawab.

"Eh, malah dicuekin! Jadi, males, ah!" Riska langsung cemberut seperti tutut. Ia pun diam tak memakan makanan yang ada di hadapannya. 

Lelaki itu menoleh ke arah wajah Riska, dahinya mengkerut lalu berkata, "Ada apa? Kok, nggak dimakan?" 

Sekarang, keadaannya malah terbalik. Riska tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia masih cemberut seperti tutut sambil kedua tangannya memainkan ponsel. 

"Eh, malah dicuekin! Jadi, males, ah!" Kang Asep mengopi ucapan yang dikeluarkan oleh Riska sebelum-sebelumnya. 

"Eh, itu ucapan aku tahu!" Akhirnya, Riska mengeluarkan suara juga sambil mencubit hidung Kang Asep. Lelaki itu malah tertawa. 

"Dasar, kau!" sambung Riska lalu ia menaruh ponselnya di meja makan. 

Kang Asep menyapu isi ruangan rumah makan Padang itu. Ia menangkap ada dua orang berbeda jenis kelamin sedang makan di meja belakang tempatnya. Orang-orang itu terlihat sibuk banget sedang makan buku menu makanan yang mau dipesan. Entah, karena ia terlalu lapar atau bagaimana. Kang Asep pun tak tahu kalau masalah itu. Kedua orang yang dilihat oleh Kang Asep itu sangat menikmati bahkan saling berbagi sampai semua isi buku menu makanan itu habis. Dan mereka pun terlihat kenyang lalu langsung keluar lagi dari rumah makan Padang itu. Kang Asep pun menggeleng-gelengkan kepala, ia pun menilai akhlak mereka tak punya sopan santun, malah pergi begitu saja, tanpa terima kasih dulu kepada pegawai rumah makan atas kebaikannya memberikan buku menu makanan. Sungguh terlalu, kata Kang Asep di dalam hati. 

"Hey, ada apa?" Riska mengagetkan Kang Asep saja yang seketika itu matanya masih fokus melihat dua orang tak tahu diri.

Lelaki itu memalingkan wajahnya dan memandang lagi Riska. Kemudian, berkata, "Tak ada apa-apa." 

"Okelah, kalau begitu." Riska tak nafsu untuk mencari tahu lebih dalam apa yang tadi dilihat oleh Kang Asep itu. 

Riska fokus kembali untuk makan makanan yang ada di depannya, sedangkan piring Kang Asep pun sudah bersih tak ada makanan lagi. Lelaki itu hanya bisa menunggu Riska sampai membersihkan makanan yang ada di depannya. Ia sendiri sesekali membuka ponselnya, mengecek semua sosial media yang dipunyai. Malah, lelaki itu malah terjebak di kolom postingan berita yang berada di beranda Facebook-nya. Matanya menyapu setiap akun yang berkomentar di kolom komentar postingan itu. Sungguh tak mengira, banyak sekali orang-orang yang tak punya akhlak juga. Banyak komentar yang tak sopan. Ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. 

"Kang!" panggil Riska sambil tangannya membereskan sendok dan garpu ke piring yang ada di hadapannya. 

"Ya," jawab Kang Asep singkat. 

"Sudah selesai, nih, pulang, yuk!" 

"Udah makannya?" tanya lelaki itu, ia menutup ponselnya lalu memandang kembali Riska. 

"Udah, dong. Tuh, lihat! Udah bersih, kan?" 

Kang Asep melihatnya lalu berkata, "Bentar! Kita bayar dulu makanannya!" 

Setelah Kang Asep membayar semua makanan yang dipesannya. Ia pun langsung mengajak Riska untuk pulang. Namun, sebelum melangkah keluar rumah makan Padang. Wanita yang sedari tadi bersama Kang Asep itu malah menyuruh duduk kembali di tempat semula. Orang-orang yang sedang makan di situ juga melirik tingkah laku yang dilakukan Riska itu. Namun, semua itu tak membuat Riska malu. Bahkan, sampai ia menggiring Kang Asep duduk kembali. 

Mereka pun duduk kembali seperti orang-orang yang baru masuk ke rumah makan. Kedua bola mata wanita itu menatap serius Kang Asep. Ia seakan-akan ada hal penting yang ingin ditanyakan. Dan udara di dalam rumah makan pun dingin banget karena kipas-kipas angin menyala terus. Kang Asep masih duduk dengan santai dan kedua tangannya ditelungkupkan di meja.

"Kang, apakah Akang punya rasa kepadaku?" Pertanyaan itu pun bobol juga dari mulut Riska. 

"Rasa?" Kang Asep balik tanya, ia tampak bingung mengartikan rasa itu apa. 

"Iya, rasa atau cinta, Kang," jawab Riska sambil tangan kanannya memegang tangan Kang Asep. 

"Cinta?" Kang Asep semakin bingung saja ketika mendengar ucapan Riska. 

"Iya, cinta. Kok, nggak peka banget."—Riska mencubit tangan Kang Asep, gemas—"punya hati, nggak, sih, Kang?" 

"Hati?" Kang Asep terpaku sementara seperti sedang memikir. "Hati aku ada di lemari es, Ris," lanjutnya yang membuat Riska mengerutkan dahi. 

"Pantas saja seperti kulkas," celetuk Riska sambil memalingkan tubuh ke samping kanan. 

"Kalau kamu tak percaya, ya, udah."

"Aku ingin bukti, Kang. Bukan hanya omong kosong saja." 

"Ya, udah kalau ingin bukti, kita ke rumah aku saja, yuk!" ajak Kang Asep. Kemudian, Riska pun mengangguk tanda setuju. 

Pintu langit terbuka di sore hari, air pun turun membasahi bumi. Kang Asep dan Riska memaksa membelah hujan untuk masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan rumah makan Padang. Mereka tak memperdulikan air yang akan membasahi pakaiannya. Seorang anak kecil yang berada di dalam rumah makan pun menunjuk-nunjuk mereka sambil berkata-kata yang tak dimengerti oleh orang tuanya. 

Setelah berhasil masuk ke dalam mobil, mereka pun saling melemparkan senyum. Riska merasa beruntung karena air hujan itu hanya sedikit membasahi pakaiannya. Mobil pun dinyalakan oleh Kang Asep, suaranya sangat lembut banget. Riska pun merasa nyaman kalau naik mobil lelaki itu. Setelahnya, ban mobil yang dikendarai oleh Kang Asep itu berpusing-pusing menuju rumahnya. 

Banyak kisah yang sudah dirangkai oleh mereka berdua itu dalam hampir seharinya bersama. Mereka berdua sampai di rumahnya Kang Asep setelah menempuh jarak selama tiga puluh menit. Waktu yang terlalu lama yang biasanya hanya ditempuh lima belas menit pun sampai. Namun, dikarenakan macet dan jalanan macet akibat hujan. Maka, tak bisa dielakkan lagi mereka harus menempuhnya dengan dua kali lipat dari biasanya. 

Bibi Ana sedang merapikan pakaian yang tadi siang dijemur, sedangkan putrinya masih sibuk dengan mainan boneka beruang besar hasil pemberian Kang Asep. Di luaran sana hujan sudah mulai reda, Riska pun ikut masuk ke dalam rumah. Dan tak lupa juga lelaki berbadan tegap itu memperkenalkan dara yang ia bawa ke rumahnya. Bibi Ana tampak terpesona oleh dara yang dibawa keponakannya itu ke rumah. Matanya tak bisa berkedip, tangannya tiba-tiba berhenti dari semula sedang merapikan pakaian. Kemudian, dara yang ada di dekat keponakannya itu berkata, "Hai, Teh, aku Riska." Bibi Ana masih terpaku melihatnya. 

"Bi ... Bi ... Bi ...!" panggil Kang Asep yang mengagetkan Bibi Ana. "Eh, malah bengong," tambahnya. 

"Kamu, dapat dari mana? Cantik banget temanmu itu!" 

Riska tersenyum lalu malah ia yang berkata, "Nggak cantik, kok, Bi! Biasa aja." 

"Udahlah, ayo kita ambil hatiku yang ada di dalam lemari es biar kamu percaya!" ajak Kang Asep kepada Riska. "Bibi Ana, diam aja di sini, ya!" tambanya lelaki itu kepada bibinya. 

"Hmmm." Bibi Ana cemberut. "Okelah, kalau begitu," kata Bibi Ana kepada keponakannya itu. 

Kang Asep mengayunkan kakinya, semut-semut yang sedang berkerumun di lawang tempat lemari es itu langsung minggir ke samping, sedangkan Riska mengikut dari belakangnya. Semut-semut merasa kesal karena harus minggir dan harus kerja sama lagi untuk memindahkan gula merah yang diangkut oleh mereka dari dapur. Sungguh terlalu, kata seorang semut garis keras. Namun, Kang Asep tak mendengarkan kekesalan dan bersikap sangat bodo amat yang mau dilakukan semut pun ia tak ambil pusing. 

Tangan kanan Kang Asep membuka pintu lemari es. Kemudian, ia mengambil sebuah kotak kaca yang berada di dalamnya. Bulat mata Riska menyorot tajam ke arah kotak kaca itu, sedangkan cicak yang menempel di tembok pun menatap tajam juga. Riska menunggu pembuktian apa yang telah diucapkan oleh Kang Asep kepadanya. Namun, lelaki yang memegang kotak kaca itu langsung memberikannya kepada Riska sambil berkata:

"Ini, kotaknya! Dan di dalam sini ada hatiku yang telah aku bersihkan menggunakan spons yang dibalut dengan sabun cuci piring. Ini, aku serahkan kepadamu! Oh, ya, ini digembok dan kunci emasnya sudah aku makan. Jadi, kalau kamu masih penasaran bisa buat kuncinya untuk membuka ini ke orang yang bisa membuat kunci cadangan. 

Sekarang, aku berikan kotak ini kepadamu! Silakan, hatiku yang ada di dalam ini mau kamu jadikan apa saja, silakan saja. Kalau olehmu mau dijadikan sambal goreng ati pun silakan ataupun mau dijadikan gantungan kunci dan dijual pun silakan ataupun mau disimpan di kulkas yang ada di rumahmu pun silakan. Sekarang, aku percayakan kotak ini kepadamu!" 

Riska mendadak bingung harus berbicara apa, tenggorokannya pun seperti ada yang mengganjal. Ia hanya mengangguk saja. 

"Kalau masih tak percaya, buka saja olehmu!" 

"Iya." Mulut Riska dengan spontan mengeluarkan suara. "Ini kan nggak perlu dibuka untuk melihat dalamnya. Kan ini terbuat dari kaca jadi aku bisa melihat walaupun tak membukanya juga," lanjutnya, benar-benar Riska sudah bisa mengeluarkan suaranya lagi. 

Kang Asep tersenyum mendengar perkataan wanita yang ada di hadapannya. Kemudian, ia menutup lemari es kembali. Cicak yang menempel di tembok masih tak paham dengan obrolan kedua manusia itu. Cicak itu pun malah pergi dari tempatnya untuk menjadi pemburu lagi agar bisa makan. 

"Gimana, percaya, kan?" tanya Kang Asep. 

"Iya, sekarang, aku percaya dengan omongan kamu tadi di rumah makan." Riska pun menyuruh Kang Asep balik badan dari hadapannya.

Entah, apa yang ada di pikiran Riska itu. Ia memasukan tangan kanannya ke dalam baju yang ia kenakan. Kedua matanya merem serasa ada yang ditahan. Kang Asep mulai tak enak diam, tetapi ia masih membelakangi Riska. Lampu-lampu rumah bergoyang dengan angin yang terus masuk ke dalam menggetarkan semua perabotan. Riska pun menjerit sekuat tenaga menahan rasa sakit. Kang Asep langsung balik badan ketika mendengar jeritan yang keras itu, wajahnya kaget dan cepat-cepat ia mengayunkan kaki menuju Riska. Namun, lelaki itu terlambat beberapa detik untuk mencegah apa yang sedang dilakukan Riska. Dan akhirnya, darah mengucur di bagian atas rongga perut wanita itu dengan dibarengi tangan kanannya memegang hati yang sudah copot. Kang Asep merasa lemas melihat kejadian yang pernah dulu ia lakukan, bisa terjadi juga kepada Riska.

Bibi Ana langsung lari ke dapur ketika mendengar jeritan seorang wanita yang keras itu masuk telinganya. Putrinya yang sedang main boneka pun ditinggal begitu saja. Pas berada di lawang dapur, ia melihat Riska sedang memegang hati sambil tersenyum puas. Tiba-tiba, tangan kanan Bibi Ana menutup hidung dan mulutnya tak bisa lagi berkata-kata. Seterusnya, tubuhnya roboh tak sadarkan diri. 

"Kang, sekarang kita sama. Dan sekarang kita akan selalu bersama, tanpa mempedulikan sebuah rasa, cinta, perasaan. Sekarang, kita akan bersama terus!" kata Riska, sambil menahan darah yang keluar dari lubang bagian atas rongga perutnya.

"Sekarang, hatiku sudah dipegang. Boleh, nggak, aku minta tolong! Tolong bersihkan hatiku sampai bersih dan simpan juga di dalam kotak yang seperti kotak kaca itu! Terus simpan juga di dalam lemari es yang posisinya selalu berdekatan dengan yang punya Akang, ya!" lanjut Riska. Pandangan Riska sudah blur, sedangkan tangan kirinya masih menutup lubang keluar darah. Ekspresi wajahnya seperti sedang menahan rasa sakit yang begitu dalam, embusan angin membuat tubuh Riska roboh ke lantai. Hatinya pun ikut jatuh ke lantai dan darahnya menciprat. 

"Riska ...!" panggil Kang Asep, "ti ... tidakkk!!!" lanjutnya, ia berteriak di samping Riska lalu kedua kakinya roboh dan kedua tangannya menonjok lantai. Lelaki itu marah kepada diri sendiri karena sudah memperlihatkan bukti hatinya kepada Riska.[]

2021

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN