Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

JANGAN BUANG SAMPAH DI SINI!

Jangan Buang Sampah


Sudah satu Minggu, saya bergulat dengan sampah yang berada di kebun samping rumah. Saya sendiri sangat kesal dengan ini semua, tetapi harus menyalahkan siapa? Lah, buktinya juga belum ada. Saya tak ingin asal memvonis orang bersalah saja tanpa ada bukti yang jelas. 

Seperti biasa, saya bakar sampah yang berserakan di kebun itu. Memang, pembakaran itu akan menghasilkan polusi udara dan tak baik untuk kesehatan. Namun, apalah daya hanya itu yang bisa saya lakukan dengan praktis dan cepat selesai. Banyak orang yang memberikan saran kepada saya atas terjadinya hal semacam ini. Katanya, coba buat triplek bertuliskan, JANGAN BUANG SAMPAH DI SINI! Lah, saya hanya mengangguk saja karena ide itu bagus sekali. 

Pagi hari berikutnya, setelah saya membeli triplek di toko bangunan. Saya langsung mengambil kuas dan cat bekas hasil mewarnai tembok rumah, terus mulailah membuat tulisan yang disarankan orang-orang itu. Namun, saya tambahi tulisan itu dengan: BUANG SAMPAH DI SINI, AKAN MATI SECEPATNYA! Saya tulis dengan rasa percaya diri agar orang yang niat membuang sampah di kebun itu bisa tahu diri. Bahwa, kebun itu bukan untuk tempat sampah. Namun, untuk tanaman-tanaman bertumbuh.

Setelah beberapa jam lamanya, karya yang saya buat itu sudah jadi. Wah, indah sekali saya melihatnya. Bahkan, istri saya pun memberikan satu jempol tangannya atas karya tulisan yang berada di triplek itu. 

Hari sudah sangat siang, mentari pun pas berada di atas kepala. Langsung saja, saya mengayunkan kaki ke kebun dengan tangan kanan membawa triplek, sedangkan tangan kiri membawa paku dan palu. Jalanan di depan rumah saya pun sepi, mungkin orang-orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, hewan yang biasanya berlalu-lalang pun tak menampakkan wujudnya. 

Tolong tahan, ya, kata saya kepada pohon cengkih yang mau ditanami triplek di tubuhnya itu. Sebenarnya, saya pun tak tega harus menanamkan triplek itu di tubuh cengkih. Namun, demi kebaikan itu harus ada yang dikorbankan dan cengkih menjadi korbannya. Jika berhasil, cengkih itu akan menjadi pahlawan bagi kebun samping rumah saya. Dan semua itu, akan menjadi cerita yang indah untuk anak-cucunya cengkih di hari kemudian.

"Sudah bagus, Mas," kata istri saya, tiba-tiba mengangetkan saja. 

"Bagus, kan?" 

"Mantap, Mas." Istri saya memberikan satu jempol lagi dan dihitung-hitung dua jempol tangannya sudah habis. 

"Makasih untuk jempolnya." Langsung saya masukkan ke kantong celana. 

Istri saya mengangguk lalu dia minta izin untuk membeli sayuran ke pasar tradisional. 


*


"Hmmm, masih ada yang membuang sampah," lirih saya, "sabar ... sabar ...." Saya mengelus-elus dada. 

Harus bagaimana lagi? Harus dengan cara apa lagi? Tulisan yang ada di triplek pun mereka abaikan. Apakah mereka tak bisa melihat? Atau mungkin buta huruf? Ah, sungguh membuat tensi kesabaran ini benar-benar harus stabil. 

Seperti biasa lagi, saya membakar sampah tersebut. Memang sangat kejam kalau dilihat-lihat, seorang manusia membakar sampah yang hanya diam saja, mereka untuk melawan pun tak mampu. Namun, saya tak peduli dengan sampah itu. Mau menangis, jerit-jerit, saya tak peduli. 

"Mang, masih suka ada yang buang sampah sembarangan di sini lagi, ya?" tanya Mang Juned yang lewat depan kebun. 

"Iya, Mang," jawab saya. 

"Coba pakai sisitivi, Mang!" 

"Ide yang bagus, tuh, Mang." Saya pun setuju dengan ide Mang Juned itu. 

Mungkin, CCTV akan menjadi jalan keluar atas masalah yang menimpa kebun samping rumah saya ini. Saya kasihan sekali kepada pohon cengkih yang sudah berkorban, tetapi hasilnya nol. Mata saya pun menyapu setiap sudut kebun yang ditanami oleh singkong. Segerombolan ayam kampung pun sedang asyik sekali main di sudut itu. "Uh, yang rukun, ya," kata saya kepada gerombolan ayam itu. Ayam-ayam itu pun hanya melirik saya saja.

Untung saja, saya mempunyai CCTV yang tertanam di tengah rumah. Oleh karena itu, saya akan memindahkan saja CCTV itu ke tembok samping rumah. Bukan hal yang murah kalau membeli CCTV yang baru, tetapi harus memecahkan tabungan lagi. Saya pun enggak mau kalau memecahkan tabungan lagi demi membeli alat semacam itu. Tabungan itu sudah diniatkan untuk anak saya yang beberapa hari lagi akan longsor dari perut ibunya. Kata-kata itu, menurut bidan yang berbicara kepada saya. 

"Mas, kenapa sisitivi yang berada di tengah rumah dipindahkan?" tanya istri saya. 

"Itu semua untuk mengintai orang yang buang sampah sembarang," jawab saya. 

"Oh, gitu, ya?" 

"Iya."—istri saya menjatuhkan sapu lidi—"gimana mantap, nggak?" Saya pun balik tanya. 

"Mantap. Nih, buat ...." 

"Stop!" Saya pun memotong ucapannya lalu tangan saya mencegah tangannya. "Kamu, mau memberikan aku apa lagi? Dua jempol tanganmu sudah diberikan kemarin kepadaku. Apakah kamu mau memberikan paruhmu? Apakah kamu mau memberikan senyum terakhir kepadaku? Aku tak akan menerima pemberian darimu lagi, Neng. Simpanlah senyum terakhirmu itu untuk anak kita yang akan segera lahir, Neng. Dan berikanlah kepada anak kita itu senyum terakhirmu, Neng. Pasti, anak kita akan bahagia. Neng, aku itu sudah punya dua jempol tanganmu. Dan tolonglah berikan senyum terakhirmu kepada anak kita. Biar, anak kita mempunyai senyum manismu itu," kata saya di depan Neng Ajeng, istri saya. 

Setelah satu jam, saya bergelut dengan CCTV. Akhirnya, bisa tertanam juga di tembok samping rumah. Saya pun sangat percaya diri dengan ini semua. Sebab, kalau melihat di berita-berita televisi, CCTV itu sangat ampuh sekali untuk mengintai gerak-gerik orang-orang yang berlalu-lalang. Dan, CCTV juga bisa menjadi alat bukti di pengadilan kalau seandainya ada hal-hal yang masuk ke proses hukum. 

Niat saya pun sudah bulat jika pembuang sampah sembarangan itu harus dihukum dengan seberat-beratnya; potong tangannya; potong kakinya. Kemudian, lemparkan ke depan gerombolan ayam yang suka main di sudut kebun walaupun itu sangat kejam. Namun semua itu, harus dilakukan demi tercipta kebersihan.


*


Biasanyaa sewaktu pagi yang indah, saya malas sekali untuk melihat kebun samping rumah. Namun, sangat berbanding terbalik dengan hari sebelumnya. Pagi ini, saya malah antusias untuk melihat rekaman CCTV yang mengarah ke kebun samping rumah. Saya sangat penasaran dengan orang yang suka buang sampah sembarang. Oleh karena itu, saya pun mengumpulkan semua anggota keluarga yang serumah untuk menonton rekaman itu di ruang televisi. 

Bapak dan Ibu duduk di kursi, sedangkan anak-anaknya duduk di karpet. Saya pun mulai membuka rekaman CCTV. Sewaktu itu juga, saya sambungkan ke televisi yang menempel di tembok agar terlihat oleh semua orang. Orang-orang yang berada dekat saya pun sudah terlihat sangat fokus untuk menontonnya. Mungkin, mereka juga penasaran dengan orang yang suka buang sampah sembarangan itu. 

Detik demi detik, saya amati dengan saksama karena tak ingin ketinggalan momen sekecil pun. Oleh karena itu, saya tak tengok kanan-kiri dan mata pun sangat difokuskan untuk melihat layar datar yang menempel di tembok itu. Pada pukul setengah lima sore, rekaman itu memunculkan ada seorang lelaki berpakaian kaos, bercelana pendek, dan rambutnya tak gondrong-gondrong banget sedang membuang sampah ke kebun. Nah, ini pelakunya, kata saya. Semuanya terdiam.

Setelah itu, saya berhentikan dulu rekaman itu di bagian lelaki yang membuang sampah ke kebun. Kemudian, saya perbesar gambar orang yang berada di rekaman itu dengan sedikit demi sedikit. Dan akhirnya, saya dapat juga ciri-ciri orang yang buang sampah sembarangan itu. 

Saya amatilah wajah lelaki itu, dia tampak tua. Namun, saya merasa enggak asing dengan wajah lelaki tua itu. Kemudian, saya melirik Bapak yang sedang duduk di kursi. Dahi saya tiba-tiba mengkerut, kedua bolat mata saya terus menyamakan gambar yang ada di rekaman itu dengan wajah Bapak. Kemudian, saya bertanya-tanya, "Wajah yang ada di rekaman itu, kok, mirip banget sama Bapak, ya?" Semua yang berada di dekat saya pun langsung melirik ke arah Bapak.[]


2021

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Mari Berkenalan dengan Gurita Teleskop, Penghuni Laut Dalam!

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca