Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

IDEAL, TAK IDEALNYA BAHASA IBU DITEMPELKAN PADA DIALOG

IDEAL, TAK IDEALNYA BAHASA IBU DITEMPELKAN PADA DIALOG

Sering kita bingung dengan masalah bahasa ibu yang ditempelkan dalam fiksi cerita. Sering juga kita bertanya-tanya, ini bahasa ibu dalam dialog ini apa, ya, artinya? Memang, sungguh beruntung kalau langsung ada translate-nya di samping dialog bahasa ibu-nya itu. Berbanding terbalik kalau bahasa ibu-nya itu translate-nya ditulis dengan memakai catatan kaki. Kan harus auto baca dulu sampai selesai minimal satu halaman bisa ke bagian catatan kaki. Melelahkan, kan?


Kalau dipikir ideal atau tak idealnya sebuah tulisan yang menempelkan bahasa ibu untuk menandakan emosi, ciri khas, ciri suku, ciri bahasa, itu ideal kalau yang membacanya mengerti langsung dengan bahasa ibu yang ditempelkan itu. Namun, kalau yang membaca tak tahu langsung dari bahasa ibu itu, rasanya akan kurang ideal sebab akan bertanya-tanya terus sampai menemukan catatan translate-nya. Dan, itu pun malah bisa mengurangi fell pembaca kalau tak paham langsung, mah. Ini menurut pemikiran saya. Kalau tak sama dengan pikiran ini, silakan saja. Berbeda itu akan indah.


Memang sastra bahasa ibu itu harus dilestarikan karena sekarang itu sudah banyak yang meninggalkan bahasa ibu. Memang, bahasa persatuan kita itu bahasa Indonesia. Namun, kita juga harus berpikir awal mulanya pas belajar berbicara, orang tua kita mengajarkan dengan bahasa ibu (bagi orang-orang yang diajarkan bahasa ibu). Dalam zaman yang modernisasi ini, bahasa ibu sudah tergerus oleh zaman. Bahkan, di daerah saya pun orang tua sudah mengajarkan anaknya hanya dengan memakai bahasa Indonesia dan tak mengajarkan bahasa ibu, tentu itu tak salah. Akan tetapi, itu akan melunturkan ciri khas, suku, bahasa ibu itu sendiri. Dan akan hilang oleh tergerusnya zaman modernisasi ini. Apakah kita rela bahasa ibu itu hilang?


Terus kita kembali lagi ke pembahasan awal yang cocok atau tidaknya bahasa ibu ditempelkan di dialog cerita fiksi. Sudah saya paparkan menurut pandangan pribadi ketika saya membaca sebuah cerita yang memakai bahasa ibu dalam dialog, tentu membuat saya harus menahan napas dulu untuk membaca sampai akhir agar menemui catatan kakinya (kalau selagi saya tak tahu langsung artinya). 


Tentu juga, kalau membaca karya Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia. Kita bisa melihat dalam tulisan beliau memakai bahasa yang tunggal (Indonesia). Namun, tak mengurangi ciri dalam berbahasa ibu-nya yang dijadikan satu (tunggal) itu. Namun, juga dalam artian itu. Kita bisa mencontoh beliau dalam membuat karya yang ingin mencirikan tokoh-tokohnya dalam bahasa ibu yang menjadi ditunggalkan dalam dialog (satu bahasa). Namun, pembaca juga mengerti di dialog itu sedang memakai bahasa ibu. 


Misalnya seperti ini, ya! (Ini bukan contoh dialog yang ada di buku Bumi Manusia) Seperti ini gaya penulisannya: 


"Aku tak bisa pergi darimu!" tegas Rhoma dalam Sunda. 


"Terus? Ke mana saja hari ini?" tanya Ani dalam Jawa Kromo, "satu hari ini nggak ada kabar!" lanjutnya, sekarang dalam Sunda.


Rhoma terdiam, telapak tangannya menjadi dingin seperti es batu. 


"Maaf!" kata Rhoma dalam Inggris. 


Wanita cantik yang ada di hadapan Rhoma itu kesal. Kemudian, dia balik badan meninggalkan Rhoma tanpa membuka mulutnya lagi. 


Seperti itulah kalau ingin ditunggalkan (satu bahasa). Namun, pembaca juga paham kalau si dialog itu sedang memakai bahasa ibu. Jadi, ini kejelian pembaca saja untuk menafsirkan ciri tokoh-tokohnya.


Berbanding terbalik kalau semuanya (cerita) mau memakai bahasa ibu. Itu akan indah karena bisa melestarikan bahasa ibu sendiri. Dan harus kita ketahui jangan menyepelekan sastra bahasa daerah atau ibu. Sebab, bahasa daerah pun ada penghargaan bagi orang-orang yang dianggap telah berjasa pengembangan bahasa dan sastra daerah, semua itu ada penghargaannya.[]


....


Salam

Al Ansor Abdul Rahman

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN