Postingan Terbaru

Batu Hitam yang Terluka

Gambar
Ilustrasi| Pexels.com/Kàssia Melo di pertigaan yang pernah kita jumpai  aku melihat kembali batu tulis itu  yang kini sudah berwarna hitam pekat  dan tulisan kita tak jelas lagi kini, tak ada lagi saksi kita di batu hitam yang penuh kenangan  di pertigaan tempat dulu kita berjanji  di depan tulisan yang dulu dicintai batu hitam itu benar-benar terluka  karena sudah terpecah setengah  antara lambang hati yang pernah kita ukir  di bawah tulisan cinta yang satu hati rasanya, kita menanamkan luka  yang amat dalam dan kini berbunga  bunga hitam yang penuh kegelapan  di antara jiwa-jiwa kita yang semakin berjauhan  aku merenung di depan ini,  menafsirkan semua luka di batu itu  ada getir, ya, ada getir yang terasa merasuk hingga masuk ke dalam hati yang sudah alfa  untukmu; untuk dirimu yang meninggalkan 2024

ANAK BERJARI TANGAN EMAS

 

Anak

Tak terasa matahari mulai naik ke permukaan saja, Malik masih bergulat dengan kehidupannya. Ia tak terlihat menyerah walaupun panas selalu menggoreng tubuhnya. Suara-suara yang sumbang untuk dirinya pun selalu terdengar. Namun, ia seperti tak mempermasalahkan hal-hal semacam itu. Mungkin saja, anak itu mempunyai tujuan dan ingin fokus untuk mencapai semua yang diinginkannya. Saya salut melihat anak itu, kedua tangannya pun masih memegang tumpukan koran untuk dijadikan uang bagi dirinya. 


Sewaktu itu, saya melihat Malik di samping mobil sambil menjajakan koran. Dari kejauhan, saya begitu miris dengan pemandangan semacam itu. Uh, negeriku yang kaya, kenapa ini bisa terjadi? Tanya dan keluh saya. Ada rasa yang tidak begitu suka dengan anak yang seharusnya sekolah di waktu sekolah, ini malah berjualan di sela-sela lampu merah. Bagaimana saya tak kesal dengan pemandangan ini? Saya tak tahu harus menyalahkan siapa? Apa pemerintah yang harus saya salahkan? Apa diri saya pribadi yang tak mampu menolong anak-anak itu? Mendadak saya terpaku di kendaraan roda empat warna hitam bermesin diesel ini. 


Teman saya, Emanuel mengajak untuk keluar dari mobil. Ia sendiri seperti ingin melihat lebih dekat lagi tentang Malik yang sering saya ceritakan kepadanya. Tangan Emanuel menepuk pundak saya lalu lelaki itu benar-benar turun dari mobil. Saya pun mengerti tepukan yang diberikan oleh Emanuel, bukan tepukan sembarangan saja. Oleh karena itu, saya melepaskan seat belt lalu keluar dari mobil juga. 


Jalanan yang ramai dipenuhi kendaraan yang bagaikan ular sedang merayap. Entah, saya tak paham dengan hidup ini. Kalau dilihat dari cermin kehidupan yang sedang terjadi. Saya melihat Malik dan orang-orang yang duduk di kendaraannya masing-masing, semua itu bagaikan bumi dan langit, sangat jauh perbedaannya. Apakah ini yang namanya hidup? Harus terus melangkah seperti anak penjual koran itu yang tak terlihat mengeluh. 


Setelah saya dan Emanuel berada persis di hadapan Malik, anak itu sedang duduk, wajahnya dipenuhi oleh keringat, tampak jelas jari-jari emasnya masih mengapit tumpukan koran. Suara kendaraan pun semakin nyaring terdengar oleh saya, apalagi asap-asap hitam knalpotnya mulai bercampur dengan oksigen yang berjalan-jalan di udara tempat saya berdiri ini. Duh, nasib oksigen di kota saya harus bergulat dengan asap kendaraan, keluh saya dalam hati. Emanuel mencoba mendekat lebih dekat dengan ia sendiri duduk di samping Malik. Anak itu bergeser sepertinya untuk memberikan jarak kepada Emanuel. 


"Nak, sini!" suruh Emanuel dengan lembut. Ia seperti sangat hati-hati untuk menyuruh anak itu. 


Malik diam, kedua bola matanya menjelajahi setiap anggota tubuh Emanuel. Ia sendiri tampak aneh ketika melihat Emanuel. Namun, saya juga tak bisa diam saja ketika melihat Malik menatap Emanuel dengan seperti itu. Oleh karena itu, saya berkata, "Malik, kenalkan itu Kakak Emanuel. Temannya kakak. Jadi, ayo kenalan, jangan takut-takut!" 


Emanuel mendekati lagi Malik, ia pun memegang tangan Malik dan membalik-balikkannya. Entah, apa yang sedang teman saya itu pikirkan? Kemudian, ia bertanya, "Nak, ini jari-jari tanganmu asli?" Malik pun menjawabnya dengan anggukan tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Bulat mata saya masih menyapu setiap inci dari mereka. Saya sendiri terdiam melihat jawaban yang diberikan oleh Malik itu. 


Udara di siang hari makin tak mengenakkan pernapasan saja, mungkin polusi udara sudah mau menyerang ke dalam paru-paru saya. Sial! Sungguh sangat sial, ulah manusia juga yang bisa menghancurkan oksigen di bumi ini. Malik pun menghalangi hidungnya dengan koran yang ia pegang dari tadi. Emanuel masih terlihat tak cukup terganggu dengan udara yang menurut saya sangat buruk ini. 


"Nak, itu jari-jari tanganmu dari lahirnya sudah emas gitu?" Emanuel menanyakan lagi. Ia pun kelihatan sangat penasaran dengan apa yang menempel di tangan Malik itu. 


"Iya, Kak. Ini dari lahirnya sudah seperti ini," jawab Malik dengan mengepal-ngepalkan tangannya. 


Seketika saya terpaku lagi tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. 


"Aku juga sering dikejar-kejar oleh orang-orang yang buruk, Kak," sambungnya dengan pelan. 


"Orang yang buruk gimana, Nak?" Emanuel merespon.


"Orang yang menginginkan jari-jari emas ini!" 


"Terus?" 


"Oleh karena itu, aku sering makai sarung tangan untuk menutupi tangan ini, Kak. Kakak, sangat beruntung bisa melihat tangan ini selagi tak memakai sarung." Anak itu menatap Emanuel.


Emanuel mendekati saya, ia membicarakan ingin sekali membawa anak itu untuk menjadi temannya. Malik masih duduk saja sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang. Ia tampak santai saja. Saya sendiri masih berpikir tentang apa yang diinginkan oleh Emanuel itu. Saya khawatir dan harus memberikan kepercayaan dulu kepada Malik agar ia tak mengira kami—saya dan Emanuel—orang jahat. Kata-kata pun mulai saya lemparkan dari otak kepada Emanuel. Teman saya berwajah bersih itu mengerutkan dahinya lalu terlihat sedang berpikir juga. Pikirkan dulu secara matang-matang, kata saya sambil menepuk pundak Emanuel. Malik pun menoleh kepada kami—saya dan Emanuel—lalu saya pun melemparkan senyum kepada anak itu.


***


Malam ini, masih seperti biasanya saya duduk di beranda sambil ditemani secangkir kopi yang uapnya masih mengepul tanpa rokok di tangan. Udara yang sejuk, kata saya. Tumben banget udara di malam ini terasa sangat berbeda dengan malam sebelumnya. Mungkin saja, efek dari musim penghujan yang sudah menyerang tempat saya tinggal. Namun, beruntung banget malam ini tak hujan jadi bisa menikmati udara malam yang menembus pori-pori tubuh. Daun-daun bergoyang seirama bak permainan orkestra yang indah. Suara jangkrik bersahutan mungkin saja mereka juga sedang menyanyikan lagu kebahagiaan ataupun sebaliknya. Duh, saya merasakan ketenangan di malam yang sunyi nan indah ini. 


Tak tahu harus mendeskripsikan seperti apalagi tentang ketenangan ini. Bahkan, kanvas kosong pun sepertinya tak akan mampu untuk melukiskannya. Selalu indah ketika bulan itu melihat saya dengan malu-malu di celah-celah daun pisang. Jangan malulah, lihatlah saya ini, kata saya. Bulan itu tak akan tahu, saya pun sama masih melihat kenangan di indahnya warna putih yang menerangi malam. 


Andaikan bulan itu bisa saya genggam, pasti saya akan berikan kepada seseorang yang ada di hati. Untuk apa? Untuk menerangi ruang hati seseorang yang gelap itu. Namun, bulan tetap bulan dan susah untuk digenggam oleh saya. Bahkan, untuk diganti dengan lampu pijar pun tak akan bisa mengganti keindahan bulan di malam hari. Duh, sungguh beruntung kau bulan yang tak bisa diganti di malam hari, kata saya lalu menyeruput air kopi hitam.


Selagi indah-indahnya memergoki bulan yang ngintip di sela-sela daun pisang. Saya mendengar deru mobil sepertinya juga telinga ini sudah tak asing lagi mendengarnya. Sudah saya duga, ternyata benar juga deru mobil itu milik Emanuel yang berada di gerbang rumah saya. Saya mengerutkan dahi, pikiran pun berputar-putar ada hal penting apa Emanuel malam-malam datang ke rumah saya? Saya coba berdiri untuk melihat ia keluar dari mobil Nissan Navara yang dikendarainya. 


Seorang lelaki itu keluar dari mobilnya, ia mengenakan sweter dengan celana jeans dan memakai sandal jepit. Rambutnya masih sama seperti biasanya selalu rapih. Ia mengayunkan kaki menuju beranda yang saya tempati. Tangannya membawa kertas lalu memanggil saya dari kejauhan. Suaranya pun cetar membahana seperti penyanyi dangdut nasional yang melengking dan bernada. Suaranya pun berhasil menembus telinga saya. Duh, sampai juga membangkitkan mulut saya agar mengeluarkan suara untuknya. 


Kami saling duduk bersampingan. Tak lupa juga saya menawari ia air kopi. Namun, ia malah meminta rokok. Saya pun langsung angkat tangan karena tak punya. Sebab, saya tak menyukai rokok yang bisa mengakibatkan efek tak baik untuk kesehatan. Emanuel pun sudah dari dulu saya ingatkan. "Bro, jangan merokok!" Saya selalu mengingatkan seperti itu. Namun, ia anak yang bandel dan ingin maunya sendiri jadi peringatan dari saya pun seperti masuk telinga kanan dan langsung keluar lagi dari telinga kiri. Menyebalkan!


Emanuel membawa dua lembar tiket liburan yang diperlihatkannya kepada saya. Ia tampak sekali bahagia. Namun, mendadak saja pikiran saya jadi berpusing-pusing dengan kedua tiket itu. Dari mana ia dapat tiket itu? Pikiran saya pun bertanya. Tak seperti biasanya ia mendapatkan tiket terus diperlihatkan kepada saya. Ia pun mulai menceritakannya perihal yang membuat pikiran saya berpusing-pusing.


"Tenang saja, Bro. Ini tiket liburan dari perusahaan," kata Emanuel, tiket itu pun diletakkan di meja. 


"Perusahaan?" Saya pun bertanya dengan dahi mengkerut. 


"Iya, ini hadiah, Bro. Sebab, gue berhasil dalam proyek besar, Bro," jawab ia tampak bangga. 


"Wah, hebat, lu. Lu, cerdas juga, ya?" 


"Iyalah."–saya menyeruput air kopi lagi–"baru tau, ya?" 


"Hu'um. Penilaian gue selama ini salah." 


"Penilaian?" 


"Ya, penilaian."–Emanuel juga tiba-tiba menyeruput air kopi saya–"penilaian gue. Lu, tak bisa bekerja," kata saya pelan.


"Sial, lu!" Ia pun tampak kesal lalu membuang air kopi yang tinggal setengah itu ke tanah. 


"Eh, ngapain dibuang?" 


"Bodo ametlah. Emang enak, gue buang tuh kopinya. Hahahaha." 


Saya pun langsung masuk ke dalam rumah. Kemudian, Emanuel mengikuti juga dari belakang. Ada rasa kesal yang bersarang di hati saya ketika ia membuang air kopi di cangkir itu. Bayangkan saja, saya dari tadi menunggu agar air kopi itu dingin. Dan sesudah dingin, malah dibuang. Mau marah pun saya tak bisa karena Emanuel itu sahabat. Sewaktu itu juga, saya merasakan kekalahan yang cukup telak dari Emanuel si Anak Bandel itu. 


"Ngapain sih, lu, malam-malam datang ke sini?" Saya memberhentikan langkah lalu balik badan berhadapan dengan Emanuel. 


"Ada yang perlu gue omongin," jawabnya, "makanya, lu, jangan main pergi-pergi saja," lanjutnya, tangan kanan ia menepuk saya.


"Oke, kalau begitu penting ayo kita duduk di kursi!" Saya pun menggiring ia untuk ke kursi tengah rumah. 


Ia pun tampak kaget ketika saya menggiringnya seperti sedang menggiring domba untuk masuk kandang saja. Namun, biarin sajalah. Itu salah sendiri malam-malam sudah datang secara mendadak ke rumah saya. Seharusnya, mengirim pesan atau telepon dulu kalau mau main ke rumah agar pikiran saya tak berpusing-pusing. 


Sewaktu kami sudah berposisi duduk di kursi, ia duluan berkata, "Ini soal tiket yang tadi gue perlihatkan!" 


"Emang kenapa lagi dengan tiket itu?" Saya pun merespon dengan pertanyaan. 


"Gue akan persembahkan satu tiket itu buat, lu. Jadi, kita bisa berliburan bareng ke luar negeri," terang ia tampak serius. 


Saya menahan saliva ketika mendengar pernyataan Emanuel. Kemudian, berubah posisi duduk agar semakin dekat sampai berjarak beberapa sentimeter. 


"Terus? Lu, jujur saja dapat tiket itu dari mana?" Saya yang belum percaya dengan pernyataan tadi lalu melemparkan pertanyaan lagi. 


"Gue dapat ini dari perusahaan," jawabnya. "Ini hadiah buat gue karena sudah berhasil dalam proyek yang dibebankan kepada gue," tambahnya, wajahnya tampak meyakinkan. 


"Proyek yang mana, sih? Lu, nggak pernah cerita sama gue?" 


"Masa gue harus cerita juga masalah kerjaan kepada, lu. Kan itu rahasia perusahaan, Bos!" 


Ada benarnya juga pernyataan Emanuel itu, rahasia perusahaan tak boleh diumbar-umbar agar tak tercium oleh yang lain. Namun, saya sendiri merasa penasaran dengan asal muasal yang telah didapatkannya. Logika saya tak masuk jika tiket yang diperlihatkan kepada saya itu dari perusahaan. Andaikan dari perusahaan, setidaknya saya tahu atau ada bisik-bisik dari atasan kalau Emanuel mendapatkan hadiah. Ini kan sama sekali tak ada bahkan baunya pun tak tercium. Namun, saya juga tak boleh untuk mempunyai pemikiran yang enggak-enggak terhadapnya. Mungkin saja omongan ia benar dan atasan saya belum bisik-bisik terhadap bawahannya. 


"Gue nggak punya duit untuk bekalnya," kata saya, ia pun menengok. 


"Tenang saja, kalau duit, ntar gue yang urus semuanya." Emanuel mencoba meyakinkan saya. 


"Emang lu, punya duit?" 


"Punyalah. Banyak! Santai saja kalau masalah duit mah." Ekspresi Emanuel terlihat menyakinkan. 


"Kan gaji lu sama gue itu lebih gede gaji gue. Yakin lu, punya duit?" 


"Sumpah, deh! Duit gue ada di ATM, nih!" Ia pun sambil mengeluarkan kartu ATM dari dompet warna hitamnya.


"Sumpah? Kok, lu, banyak banget duitnya?" 


"Lu, mah banyak omonglah. Jadi, gimana mau, tidak?" Emanuel pun balik tanya.


"Ntahlah. Gue mau pikir-pikir dulu," jawab saya sambil menggaruk-garuk rambut yang tak gatal itu. 


"Okelah, kalau begitu. Ingat saja ini tiket untuk tiga hari lagi keberangkatannya jadi ntar gue tanyain lagi, oke?" terang Emanuel lalu bertanya. 


Saya pun mengangguk dan tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Ia terdiam lalu berdiri dari hadapan saya. Kedua bulat matanya terlihat sedang menyapu isi ruang tengah rumah. Entahlah, Emanuel itu sedang mencari apa. Apa sedang mencari cicak yang sedang berpacaran? Apa sedang mencari tokek yang sedang berburu serangga? Atau mungkin sedang mencari jam untuk melihat waktu yang terus berputar? Entahlah, yang terlihat dari wajahnya, ia seperti orang yang sedang berhati-hati banget untuk bergerak.


***


Sepulang bekerja, saya menyempatkan ke tempat biasa Malik berjualan koran. Senja pun sudah mulai tampak ke permukaan. Jalanan pun terisi oleh kendaraan-kendaraan yang sepertinya mau pulang bekerja juga. Mobil saya pun jalannya sudah seperti keong. Bahkan, orang-orang pun terlihat mengeluh dari balik kaca mobilnya yang terbuka. Saya hanya bisa menggelengkan kepala lalu fokus kembali ke jalanan.


Mobil orang-orang banyak yang berteriak-teriak atas kemacetan yang melanda bawah jembatan arah kota ini. Ya, itu jalan satu-satunya ke tempat Malik biasanya berjualan koran. Jadi, saya pun harus sabar menghadapi ini. Andaikan saya tak sabar, mungkin kepala mobil yang dikendarai ini akan menubruk pantat mobil lain. Saya tak ingin itu terjadi, sungguh. 


Saking kendaraan-kendaraan roda empat bermesin itu berjalan seperti keong. Ada seorang sopir yang keluar dari mobilnya lalu kedua bola matanya tampak menyapu jalanan. Seorang itu menepuk jidatnya seperti sedang frustasi dengan apa yang dilihatnya. Saya masih tetap di belakang kemudi sambil mendengar lagu Jangan Bicara dari Iwan Fals. Ya, itu lagu yang sering saya dengarkan dari dalam mobil. Bukannya itu lagu kesukaan, tetapi itu lagu satu-satunya yang ada di dalam flashdisk saya. Jadi, setiap harinya, saya disuapi oleh lagu itu saja kalau sedang di perjalanan. 


Sekitar tiga puluh menitan, saya bergulat dengan perjalanan. Akhirnya, saya bisa melihat wajah anak itu yang tampak tak suka mengeluh. Kaki kecilnya pun terlihat kokoh menapak di jalanan. Ia bagaikan anak yang dikirimkan untuk saya. Mungkin, bisa menjadi sahabat ataupun saya angkat jadi anak. Umurnya sekitar sepuluh tahunan, ia seharusnya lagi masa-masa enaknya bermain. Bermain segala macam seperti anak-anak sepantarannya. Bahkan, anak-anak sekarang sering digoda oleh ponsel pintar untuk main bersamanya. Namun, Malik berbeda dengan yang lainnya. Ia anak pekerja keras, bisa terlihat dari hari-hari biasanya. 


Saya cukup terkejut ketika Malik itu tiba-tiba lari. Apa karena ia melihat saya? Mungkin, bisa jadi. Namun, kalau karena melihat saya, kenapa ia bisa lari seperti orang ketakutan? Saya pun coba memanggil anak itu dengan berteriak-teriak. Orang-orang yang lewat samping saya pun melirik-lirik. Akan tetapi, saya tak mempersalahkannya, bodo amat. Anak itu malah tambah berlari, saya tak tahu dengan prilaku ia kenapa bisa seperti itu. 


Mobil pun terpaksa saya tinggalkan sendirian. Kaki pun mulai diayunkan untuk mengejar Malik yang sudah lumayan jauh. Namun untung saja, di tempat itu ada jalan lain yang bisa mencegat Malik. Saya pun memasuki gang-gang kecil yang di sampingnya berjejer rapih rumah-rumah warga. Jalannya bagus sudah di beton, tetapi gang-gang itu bercabang yang membuat saya sedikit kebingungan. Masih untung juga, saya mengingat perkataan orang tua, kalau tak bertanya akan sesat di jalan. Makanya, sewaktu itu, saya bertanya-tanya ke setiap warga yang terlihat di situ. 


Saya pun berhasil keluar dari jalan permukiman warga itu, kedua bulat mata ini menyorot ke depan ada persimpangan lampu merah. Namun, anak itu di mana? Malik di mana? Pikiran saya berpusing-pusing. Kedua bolat mata pun menyapu seluruh area itu. Dan akhirnya, Malik sedang duduk di depan toko bangunan yang sudah tutup. Saya mengembuskan napas, lega. Anak itu bisa ditemukan dan saya pun langsung mengayunkan kaki untuk mendekatinya tanpa ketahuan. 


"Malik!" panggil saya yang sudah berada di belakang tubuhnya.


Malik membalikkan badannya lalu wajahnya mendongak yang sedari saya lihat tertunduk saja. Ia terlihat kaget dan ketakutan, sampai mau lari kembali. Namun, saya dengan sigap menahan tangan kanannya dan bertanya, "Kenapa mau lari, Nak?" 


Lagi dan lagi, mulutnya seperti dijahit oleh benang ketakutan. Ia hanya menunduk. 


"Ada apa, Nak?" tanya saya sekali lagi, "ayo duduk sini!" lanjut saya. 


Malik pun masih berdiri saja dan tak mengindahkan suruhan saya itu. Ia tampak masih ketakutan ketika melihat saya. Koran-koran yang ia pegang oleh tangan kiri pun tinggal dua lagi. Dan keringat pun mengucur sampai membasahi dahinya. Mungkin saja, anak kecil itu kelelahan dari pelarian yang tadi ia lakukan. 


"Sini, Nak, duduk!" Saya pun menggiringnya untuk duduk, ia pun tak bisa menolak lagi. 


"Aku takut, Kak!" Tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara. Saya tiba-tiba juga terpaku mendengarnya. 


"Aku takut, Kak!" Sekali lagi anak kecil itu berkata sambil melihat wajah saya. 


Deg! 


"Takut?" tanya saya penasaran. 


Malik pun terdiam lagi, ia langsung duduk di depan toko bangunan. 


Saya pun melihat malik yang duduk dan tatapan matanya terlihat kosong. Entahlah, apa yang sedang ia pikirkan. Ia membisu di samping saya. Tangan kirinya masih memegang koran yang belum menemui penikmatnya. Suara kendaraan menjadi irama di saat kami saling terdiam. 


Ia pun membuka sarung tangan yang dikenakannya. Astaga, saya terkejut ketika melihat jari-jari tangannya sudah berubah menjadi besi. Aneh, kata saya dalam hati. Ia pun menumpukan kedua sarung tangan itu menjadi satu. Kemudian, ia simpan di koran yang terletak di sampingnya. 


"Itu kenapa, Nak?" tanya saya penasaran, "kemarin-kemarin, jari tanganmu nggak seperti itu!" Saya menunjuk jari tangannya. 


Ia pun berkata, "Ada yang rampok, Kak!" 


"Apa?" Saya terkejut lagi. "Bagaimana mungkin jari tangan yang menempel itu bisa dirampok?"


Ia menangis, air matanya membasahi wajah. Saya melihatnya sangat kasihan. Mungkin saja, anak itu sangat trauma dan ketakutan atas kejadian yang telah menimpanya. 


"Ayo cerita, Nak!"—saya memeluk tubuhnya—"jangan takut-takut! Sekarang, ada kakak di sini." 


Anak itu mulai membuka suara lagi sambil sesenggukan seperti menahan rasa sakit. Saya pun mengusap-usap kepalanya dan terus menunggu cerita dari Malik itu. 


"A-da se-se-o-rang yang men-cu-lik a-ku, Kak," katanya dengan terbata-bata. 


Deg!


"Menculik? Siapa, Nak, yang menculikmu?" tanya saya sambil memandang wajahnya. 


Ia pun terdiam lagi seperti ada batu di tenggorokannya.


"Ayo, Nak, cerita sama kakak!" Saya pun memaksa Malik untuk bercerita. 


Kedua mata Malik menatap saya. Kemudian, kedua tangannya memeluk erat tubuh saya dan berkata: 


"Waktu itu, aku ingat-ingat sudah ada di gedung tua saja, Kak. Terus, tangan dan kaki aku sudah terikat ke kursi. Terus, mulut pun dilakban. Terus, mata pun ditutup oleh kain, Kak. Sewaktu itu aku takut, menjerit-jerit, menangis, tapi tak ada orang yang menolongku, Kak. Itu kejadian seminggu lalu." Ia pun semakin menangis.


"Terus? Ayo, dong, lanjutkan ceritanya!" Saya pun memaksa lagi. 


Malik mengusap air matanya lalu ia bercerita lagi: 


"Setelah itu, jari-jari emasku itu dicabut satu per satu menggunakan tang dan gurinda. Aku pun dipaksa untuk diam. Sampai-sampai, aku ditampar, Kak. Aku menangis. Aku sakit. Darah pun mengucur di telapak tangan. Aku mendengar suara lelaki itu sewaktu berhasil mencopot jari-jari tangan emasku itu, ia berkata, 'Yes, aku bisa liburan ke luar negeri!'. Terus, aku ingat-ingat lagi sudah ditolong saja di rumahnya kakek-kakek, Kak. Dan dipasangkan ini untuk menggantikan jari-jari tanganku! Seperti itulah yang aku ingat, Kak." 


Deg! 


Sewaktu saya mendengar perkataan yang dikatakan oleh anak itu, pikiran saya pun bertanya-tanya, kenapa hampir sama dengan perkataan yang sering dilemparkan Emanuel kepada saya, ya? Pas juga tiga hari yang lalu, ia menawarkan satu tiket liburan ke luar negeri untuk saya. Sialan! Bangsat! 


"EMANUEL ...!!!" saya pun berteriak sekencang-kencangnya. Sampai-sampai dunia berguncang lalu berhenti sementara; kendaraan-kendaraan; orang-orang; daun-daun, berhenti dari aktivitasnya ketika saya berteriak-teriak itu. Orang-orang pun terlihat ketakutan ketika matanya menatap saya dan langit pun tiba-tiba menjadi gelap.[]


2021

Komentar

Tulisan Favorit Pembaca

5 Cakupan Tindak KDRT dan Akibat yang Bisa Terjadi, Pasutri Wajib Tahu!

Salar de Uyuni, Cermin Raksasa yang Ada di Bolivia

Lelaki yang Patah Hati

Di Balik Jendela Kaca

SEMBUH ITU KEINGINAN